Menuju
Kepemimpinan Bangsa
(refleksi
krisis kepemimpinan nasional)
Oleh Alif Syuhada*
Hampir setiap hari, harian koran Tempo sering kali
diisi dengan berbagai kebejatan moral
para pemimpin kita, yang menduduki kursi tertinggi panggung politik indonesia.
Berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum maupun golongan politikus pun
datang silih berganti tiada habisnya, seakan perbuatan kotor itu sudah menjadi
kewajaran di perpolitikan negeri kita. Para pejabat kita seakan sudah mulai
kehilangan “kemaluan” mereka, dan mungkin lupa akan tugas dan fungsinya sebagai
pelayan rakyatnya. Hal-hal yang semacam ini sangat sulit dimengerti, mengapa
mereka yang dibesarkan oleh keringat rakyat, dan menjadi orang yang melebihi
kemampuan rakyatnya, menjadi penindas rakyatnya sendiri. Jika dikatakan air
susu dibalas dengan air tuba, maka ibarat ini sangat pantas dialamatkan kepada
pejabat itu.
Pemimpin yang ideal, yang berpihak
kepada yang lemah, dan yang bijak merupakan harapan rakyat kita saat ini.
pemimpin yang mau mendengarkan segala keluh kesah rakyatnya di setiap waktu,
tidak hanya sebatas janji dan “bantuan kecil” waktu akan pemilu berlangsung
seperti realita saat ini. Jika kita menelisik dari akar permasalahan kekrisisan
kepemimpinan nasional, dapat kita simpulkan bahwa sistem pendidikan merupakan
salah satu problem besar yang mengakibatkan pemimpin bangsa kita tidak sesuai
dengan apa yang seharusnya. Pendidikan yang ada bukan merupakan pendidikan yang
membebaskan, dan menumbuhkan kesadaran kritis, dan hadap masalah. Selain faktor
pendidikan, faktor sistem yang terbangun di masyarakat masih terpisah satu sama
lainnya, hal ini berakar dari reduksionisme kalangan masyarakat terhadap
masing-masing ideologi yang mereka anggap benar. Faktor mental dan moral
pemimpin juga menjadi permasalahan serius. Terkadang mereka yang sudah memiliki
kesadaran kritis terhadap kondisi sosial yang ada menjadi mandul, idealisme
mereka tergadaikan oleh kepentingan-kepentingan praktis yang sering kali
bertentangan dengan kepentingan mereka yang dipimpin. Akibatnya ketidakadilanpun
masih berlanjut, mereka yang lemah menjadi tidak tertolong.
Pendidikan
Kaum Tertindas Paulo freire Sebagai pembangun Kesadaran
Pendidikan
merupakan pelanggengan sistem atau struktur sosial yang ada (Paulo Freire). Hal ini cukup logis dan
beralasan, karena pendidikan tidak pernah lepas dengan kepentingan politik dan
struktur sosial yang ada. Jika kita kaitkan dengan kekuasaan, pendidikan tidak
lepas dari pelanggengan reazim yang berkuasa. Sejarah dan realita sekarang
cukup menjadi bukti atas teori ini. sebagai contoh, kita bisa melihat, isi
materi yang ada pada sekolah-sekolah pada era zaman orde baru hingga sekarang
tentang peristiwa G30S, yang masih digandengkan dengan PKI yang menimbulkan
persepsi bahwa PKI merupakan racun peradaban indonesia sehingga menghalalkan
dan menganggap wajar pembantaian terhadap ribuan warga Indonesia yang tidak
mengetahui apa-apa. Pendidikan tersebut berhasil menjadikan Orde baru berkuasa
selama 30 tahun lamanya.
Pendidikan yang ideal adalah
pendidikan yang membebaskan, menumbuhkan kesadaran kritis, dan hadap masalah.
Jika kita kaitkan pada realita sekarang, pendidikan kita masih belum memenuhi
kriteria pendidikan yang idela tersebut. kita lihat, isi pendidikan kita masih
belum menuju kearah berkesadaran kritis, karena pendidikan masih dipengaruhi
oleh sistem yang berkuasa dan dominan pada saat ini. materi yang diajarkan
masih berkutat pada hal-hal praktis yang mengarah pada pemburuhan nasional
sebagai pemenuhan atas kebutuhan kapitalis akan tenaga terampil buruh itu
sendiri. Wacana yang membangun kesadaran individu dan posisi ,(dalam kasus ini,
kesadaran kelas buruh), tidak diberikan pada pendidikan kita, seperti teori
nilai lebih “surplus value”, dan
teori nilai buruh The Labour Theory of
Value Karl Marx.
Jika dikaitkan dengan kebudayaan,
dan persoalan berbangsa dan bernegara, pendidikan belum berhasil menumbuhkan
kesadaran tersebut. maka jangan heran, ketika pemuda bangsa kita memandang
remeh “baju batik”, pekerjaan tani, tukang, makanan khas, tetapi lebih bangga
ketika ia dapat berbahasa asing dibandingkan bahasa sendiri dan Belum lagi
permasalahan gaya hidup lainya.
Jika telaah dari permasalahan
pendidikan diatas, dan kita kaitkan dengan teori hegemoni Gramsci, pendidikan
kita merupakan proses hegemonisasi dari pihak yang berkuasa, yang dominan
terhadap kelas minoritas dan tertindas. Hegemoni terjadi ketika pandangan
hidup, cara berpikir, dan cara hidup masyarakat bawah, tertindas telah menerima
pandangan hidup, cara berpikir kaum elit yang mendominasi, berkusasa, dan
cenderung mengekploitasinya. Hegemonisasi mengakibatkan kesadaran palsu
masyarakat bawah, sehingga penindasan terjadi dan terkesan wajar. Dan ketika
dikaitkan dengan tugas dan peran pemimpin, seharusnya pemimpin merupakan
pendidik dan aktor untuk menumbuhkan kesadaran akan ketertindasan kaum-kaumnya,
Sehingga bisa membebaskan kaumnya dari ketertindasan yang menimpanya. Tapi
sebelum menjadi pemimpin, seorang pemimpin harus dapat bersadar diri akan
realitas sosial yang ada, sehingga tidak tercerabut dari tempat ia berpijak.
Plularitas
Sebagai Cara Pandang yang Menyatukan
Plularitas dapat
diartikan cara pandang mengakui keberagaman yang ada realitas sosial. Pengakuan
akan keberagaman bertolak dari cara berfikir bahwa tiada kebenaran yang absolut
di dunia, sehingga terhindar dari uniformitas, taqlid, dogma dan kejumudan.
Uniformisitas dapat menimbulkan fanatik golongan yang cenderung menerima apa
yang menurut mereka saja, dan cenderung menyalahkan apa yang tidak sesuai
dengan mereka. Fanatik golongan dapat juga dinamakan gejala psikologis
narsistik kolektif menurut Erich From. Fanatik golongan ini kerapkali
menimbulkan ketidakadilan dan penindasan, kita lihat konflik agama antara kaum
Syiah dan Suni yang terjadi di Madura tidak lama yang lalu. Kekerasan yang
lebih besar dibuktikan oleh sejarah
Gereja , dan peradaban kaum Islam pada masa dinasti Abbasiyah saat terjadi
dominasi kaum rasional Mu’tazilah, sifat fanatik ini cenderung menimbulkan
perpecahan, dan mencegah timbulnya persatuan, sehingga sangat mengkhawatirkan
bagi suatu bangsa karena rawan dilumpuhkan oleh musuh.
Sebagai seorang pemimpin, sudah seharusnya
menghindari sifat fanatik tersebut,
mencoba membangun pola pikir plularistik, mengakui keberagaman, dan membangun
toleransi, sehingga tercipta masyarakat ideal yang penuh keharmonisan sehingga
tidak ada suatu ketidakadilan yang menimpa suatu golongan atas golongan yang
lain.
*Penulis adalah kader IMM FKIP UMS
No comments:
Post a Comment