Nilai Pendidikan dalam Film Sang Pencerah

 


Oleh IMMawan Lalu Muhammad Ilham Fajri

Ketua Bidang RPK PK IMM FKIP
Periode 2020/2021

Agak random, tapi ada baiknya memulai tulisan ini dengan kisah Kaisar Hirohito ketika Hirosima dan Nagasaki sedang hancur lebur di bom oleh Amerika Serikat. Saat itu Jepang lumpuh total, militer tumbang, sehingga dengan terpaksa Jepang harus menyerah kepada sekutu. Dalam kondisi terpuruk semacam itu, Kaisar Hirohito bertanya kepada para jendral yang masih hidup, “ Ada berapa guru yang tersisa?” Para Jendral terheran-heran mendengar pertanyaan sang Kaisar, di saat kondisi perang seperti ini kok yang ditanyakan oleh Kaisar berapa jumlah guru yang tersisa, bukannya jumlah tentara. Kemudian sang Kaisar menegaskan kembali “ Kita sudah kalah telak gara-gara nggak belajar. Kita emang jago berperang tapi kita ngga bisa buat bom kayak mereka. Kalo kita ngga belajar ya selamanya kita bakal kalah sama mereka. Sekarang kumpulin semua guru yang tersisa, perjuangan kita selanjutnya bakal bertumpu ke mereka”. Berangkat dari situ, Jepang yang mulanya lumpuh kembali bangkit. “Matahari Asia” terbit kembali, menjadi negara maju dan kita sebagai rakyat negara dunia ketiga masih silau dengan teriknya sampai sekarang. Lalu apa hubungannya dengan K.H. Ahmad Dahlan?

            Setelah menonton film Sang Surya, penulis merasa ada jiwa Kaisar Hirohito dalam diri K. H. Ahmad Dahlan atau mungkin ada jiwa K.H. Ahmad Dahlan dalam Kaisar Hirohito? Keduanya hidup dalam suasana perang. K.H. Ahmad Dahlan hidup ketika Nusantara sedang asyik-asyiknya dijajah oleh Belanda sedangkan Kaisar Hirohito dalam suasana Perang Dunia ke-2 dan sempat menjajah Indonesia sebelum pada akhirnya dibombardir oleh sekutu. Mereka sama-sama berpikir, kalo ingin terbebas dari penderitaan maka selayaknya jalan yang harus dipilih adalah memperbaiki pendidikan. Kini pemikiran keduanya terbukti bukan? Jepang sudah tidak diragukan lagi sebagai negara maju. Muhammadiyah dengan gerakan pembaharuannya terus upgrade dan berkembang sampai sekarang dan nggak diragukan lagi kontribusi Muhammadiyah buat NKRI. Sang Surya telah bersinar dan masih tetap bersinar sampai sekarang. Tetapi mengapa Jepang dan Muhammadiyah sama-sama identik dengan matahari ? Mengapa bisa begitu?. Kita bahas nilai pendidikan dalam film sang pencerah.

1.      Darwis yang Kritis

Adegan film ini dimulai dengan gambaran masyarakat Kauman yang sedang diserang wabah TBC. Bukan tubercolousis tetapi takhayul, bid’ah dan churrafat. Seorang Darwis (K.H. Ahmad dahlan muda) sangat resah melihat prilaku masyarakat Kauman yang memang beragama Islam tapi masih beribadah di pohon-pohon dengan sesajen pula. Digambarkan dengan sangat jelas bahwa keprcayaan masyarakat pada masa itu masih sangat dipengaruhi oleh animisme, dinamisme, totenisme, dan isme-isme yang lain yang bertentangan dengan ajaran islam. Selain itu pengaruh ajaran agama Hindu-Budha juga masih mewarnai kehidupan masyarakat Islam Kauman pada masa itu. Melihat kondisi tersebut, dalam film digambarkan Darwis muda menggelengkan kepala, gelengan tersebutlah yang menggambarkan kekritisan Darwis dalam film tersebut. Gelengan merupakan salah satu bentuk ketidaksetujuan, ketidakpuasan, dan awal mula perlawanan tehadap sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran yang kita percaya. Darwis muda dengan ilmu yang dimilikinya percaya bahwa penyakit TBC masyarakat Kauman pada masa itu bertentangan dengan ajaran agama dan penyakit itu malah yang makin membikin masyarakat menjadi  terbelakang, miskin, dan bodoh. Maka selanjutnya perlawanan kecil yang dilakukan Darwis dalam film sang pencerah adalah ngeprank orang-orang yang menaruh sesajen di bawah pohon beringin, lantas memakan makanan dalam sesajen tersebut. Dalam pandangan masyarakat Kauman pada masa itu, mengambil makanan sesajen adalah hal tabu yang bisa membawa petaka. Tapi K.H. Ahmad Dahlan berani menentang aturan tersebut. Barangkali kekritisan dapat juga diartikan sebagai keberanian melawan aturan yang nggak bener.

2.      Menuntut Ilmu Untuk Melakukan Perubahan

Di usianya yang ke-15 Darwis berniat untuk menjalankan ibadah haji ke Mekah. Di samping itu ia juga ingin menuntut ilmu di sana. Sebelum berangkat, ia meminta petuah dari pamannya, K.H. Muhammad Fadhil, yang merupakan ayah dari Siti Walidah. Di situlah dia mendapat pesan yang amat penting “Jika kamu kembali dari Mekah terus tidak membawa perubahan apa-apa, dan malah tunduk pada jabatan ngarsodalem,  apa bedamu dengan kiyai-kiyai majnun yang ada di Kauman itu?”sebuah memo yang amat berkesan bagi Darwis muda. Kemudan setelah diuji oleh ayahnya dan guru bahasa arabnya, direstuilah Darwis untuk berangkat ke Mekkah. Di sana ia belajar memperdalam ilmu agama. Selain itu, ia juga mengkaji pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan Islam seperti Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, yang baginya pemikiran tokoh-tokoh tersebut sesuai untuk memperbaiki kondisi masyarakat Kauman yang kadung terjangkit TBC. Secara umum pemikiran tokoh-tokoh tersebut beranggapan bahwa kemunduran yang terjadi pada umat Islam adalah karena ajaran agama dipahami secara dangkal. Jadi banyak pemahaman dan praktek kehidupan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang otentik. Selain itu, umat Islam yang cenderung bersikap jumud, statis, susah dikandani, susah menerima perubahan, membuat kondisi masyarakat Islam susah diubah . Beruntunglah K.H. Ahmad Dahlan mendalami pemikiran tokoh-tokoh tersebut, yang dengan itu nantinya ia berupaya memperbaiki kondisi masyarakat.

3.      Langgar Kidul dan Metode Pendidikannya Yang Ciamik

Sekembalinya dari Mekah, K.H. Ahmad Dahlan memulai praktek pendidikan kecil-kecilan di langgar kidulnya. Meskipun langgarnya kecil tapi sistem pendidikan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dilandaskan pada falsafah pendidikan yang luar biasa. Dalam scene ini, K.H. Ahmad Dahlan menunjukkan salah satu metode pendidikan yakni metode dialog. Jadi pembelajaran nggak terjadi dalam satu arah seperti lazimnya ceramah. Layaknya Paulo Freire K.H. Ahmad Dahlan menawarkan pendidikan yang lebih kritis melalui interaksi-interaksi daripada sistem pendidikan lama yang pasif, satu arah, “ala bank” kata Freire. Santri langgar kidul pun kaget dengan sistem itu, karena sebelumnya mereka terbiasa dengan pendidikan ala pesantren yang notabene disampaikan melalui ceramah. “ Kalian mau pengajian apa?” tanya K.H. Ahmad Dahlan. Dengan bingung sang murid menjawab, “ Begini Kiai, biasanya kalau pengajian yang kami tahu, bahannya dari guru ngajinya.” K.H. Ahmad Dahlan menjawab “Nanti yang pintar hanya guru ngajinya. Para murid mengikuti guru saja, apakah kalian mau seperti itu? Kalau pengajian di sini, kalian yang menentukan apa yang ingin kalian ketahui. Dimulai dengan bertanya. Pertanyaan itu kunci gerbang untuk memasuki dunia ilmu pengetahuan”. Jika kita melihat peralihan kurikulum 2006 ke 2013 ada kaitannya ngga sih sama K.H. Ahmad Dahlan? Menurutku ya sebenernya ide tentang kurikulum sekarang sudah dipikirkan oleh K.H. Ahmad Dahlan sejak dahulu. Apalagi kalau temen-temen simak pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan di paragraf  berikutnya.

Scene epic selanjutnya dari film ini adalah ketika salah seorang murid bertanya “Sebenarnya agama itu apa sih Kiai?” Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut sang Kiai malah memainkan biolanya dengan alunan yang amat merdu lantas menanyakan apa yang di rasakan oleh murid-muridnya setelah mendengar alunan biola tersebut. Ada yang menjawab “merdu Kiai” ada yang menjawab “seperti semua masalah hilang Kiai.” Sang Kiai lantas melanjutkan “Itulah Agama, orang beragama adalah orang yang merasakan keindahan, tentram, damai, cerah, karena hakikat Agama itu seperti musik, mengayomi, menyelimuti” Lalu sang Kiai meminta salah seorang muridnya meminkan biola. Suara dari biolanya jadi kayak pintu yang egnselnya rusak, kacau, tidak merdu. Lantas Kiai pun menyambut “itulah Agama, kalau kita tidak mempelajarinya dengan tepat itu akan membuat resah lingkungan kita dan jadi bahan tertawaan.” Dari situ kita bisa melihat bagaimana K.H. Ahmad dahlan memainkan analogi-analogi yang kontekstual untuk menjelaskan perihal apa itu agama kepada muridnya. Bayangkan saja, lebih mudah mana untuk dipahami, penjelasan K.H. Ahmad dahlan atau guru x yang menjelaskan sesuatu kudu pake definisi yang njelimet dan tidak bisa kita rasakan secara langsung.

4.      K.H. Ahmad Dahlan Yang Kritis

Dalam scene berikutnya kita dibawa pada pergulatan K.H. Ahmad dahlan dengan kiai-kiai Kauman menganai arah kiblat Masjid Gedhe.Sikap yang luar biasa ditunjukkan oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika menyampaikan pendapatnya mengenai arah kiblat Masjid Gedhe yang masih salah. Beliau tidak terburu-buru menyatakan bahwa arah kiblat masjid itu salah, melainkan beliau menyiapkan dasar-dasar yang menjadi landasan argumennya. Selain itu, beliau juga berdiskusi terlebih dahulu dengan Kiai-Kiai lain sebelum menyatakan argumennya dalam musyawarah. Jadi yang kita artikan kritis bukan hanya perkara keberanian menentang hal yang dirasa salah, tapi juga perkara dasar-dasar argumen yang sudah dipahami secara mantap. Namun, lagi-lagi yang menjadi tantangan K.H. Ahmad Dahlan adalah sikap keras kepala, sikap jumud tokoh agama pada masa itu. Kondisi yang terjadi pada masa itu adalah masyarakat Kauman cenderung memisahkan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Jadi yang menjadi tantangan K.H. Ahmad Dahlan juga adalah masyarakat masih sulit menerima alasan-alasan rasional yang ditawarkan ilmu pengetahuan. Mereka lebih senang bertaklid buta pada kiai yang mereka segani. Nantinya K.H. Ahmad Dahlan malah dituduh sebagai Kiai kafir lantaran mencoba membawa corak modernitas dalam kegiatannya. Misalnya ketika dia menjelaskan tentang arah kiblat dengan peta, ketika mengajar menggunakan kursi dan meja, dan menggunakan jas saat berangkat mengajar ke Kweekschool. Masyarakat pada masa itu memang masih sangat anti dengan barat, apapun yang berabau barat pasti akan dicap kafir.

5. Spirit Al- Maun: ilmu adalah amal

K.H. Ahmad Dahlan adalah sosok yang lebih banyak dikenal karena banyak melakukan aksi sosial di masyarakat. Baginya , Ilmu itu hakikatnya diamalkan. Kiyai Ahmad Dahlan adalah sosok yang tekun dan rajin, tak ayal jika ilmu yang diperolehnya mampu ia amalkan dan bermanfaat bagi rakyat Kauman, Negara dan Umat Islam sampai dengan sekarang.  Hal tersebut diturunkan pula  kepada murid-muridnya.  Adegan yang selalu diingat dalam film ini adalah ketika K.H. Ahmad Dahlan dalam setiap kegiatan pengajiannya terus saja meminta muridnya untuk mengaji surat al-maun. Sampai kemudian bertanyalah seorang murid “mengapa setiap mengaji selalu saja membaca surat al-maun?” Sang Kiai Pun menjawab “ Sudah berapa anak yatim dan orang miskin yang kamu santuni? buat apa mengaji banyak, banyak kalo Cuma untuk dihafal?” Pada menit 73 dari film tersebut, K.H. Ahmad Dahlan mengajak murid-muridnya itu mengimplementasikan spirit ayat Al-Maun. Mereka mengumpulkan anak-anak pribumi Kauman untuk diajak bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah yang dibentuk oleh K.H. Ahmad dahlan dan murid-muridnya. Selain itu mereka juga diminta untuk menyantuni orang-orang miskin di Kauman. Dengan iringan lagu lir-ilir, adegan-adegan Al-Maun itu nampak begitu asyik. Metode pendidikan semacam itulah yang mungkin disebut dengan memanusiakan manusia. K.H. Ahmad Dahlan berupaya mendidik murid-muridnya sehingga mampu berpikir dan bertindak secara dewasa dan benar. Baru kemudian murid-muridnya mendidik anak-anak di Kauman menjadi manusia yang dewasa. Sesuai dengan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.

6. Mengutuhkan Pendidikan

Selain mengajar di langgar Kidul dan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mengajar di Kweekschool, sekolah yang diperuntukkan untuk orang Belanda dan pribumi, orang arab atau tionghoa yang sudah mahir berbahasa Belanda. Biasanya yang bisa masuk ke sakolah itu adalah anak-anak Belanda atau anak-anak bangsawan dari pribumi. Di sana mereka diajar dengan cara barat, bersekolah dengan bangku dan meja disertai dengan kurikulum buatan Belanda yang kuat pada intelektualitas namun nilai religiusitasnya ditinggalkan. Berbeda dengan pendidikan pesantren yang lebih banyak membahas perihal agama namun masih sangat jauh dengan ilmu pengetahuan. Di situlah K.H. Ahmad Dahlan menyeimbangkan kebutuhan murid-muridnya. Di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah beliau menambahkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Sedangkan ketika berada di Kweek School K.H. Ahmad Dahlan menambahkan ilmu agama. Jadi jika melihat tujuan pendidikan nasional di UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ya, K.H. Ahmad Dahlan sudah menjalankan tujuan itu jauh sebelumnya. Maka jika ditanyakan perihal peran K.H. Ahmad dahlan dalam dunia pendidikan ya sangat berperan penting dan nyatanya sekarang Muhammadiyah berkembang dengan begitu banyak jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang tersebar di penjuru Nusantara bahkan sampai luar negeri.

Jika ingin membahas tokoh K.H, Ahmad Dahlan sebenarnya membutuhkan lebih banyak paragraf lagi dalam tulisan ini. Tapi dengan keterbatasan penulis, hanya bisa membahasnya sampai di sini dulu. Jika menutip perkataan K.H. Ahmad Dahlan Untuk apa belajar banyak-banyak jika yang kita pelajari tidak menghasilkan manfaat, tidak menghasilkan pengaruh apa-apa?” Jadi semoga tulisan yang sedikit ini dapat bermanfaat dan dapat sedikit menggambarkan sosok K.H. Ahmad Dahlan, seorang guru bangsa yang mestinya kita gagas dan tiru. Ada baiknya saya menutup tulisan ini dengan mengutip kata K.H. Ahmad Dahlan.

“ Kamu tidak mau menjalankan tugas amal itu karena kamu tidak biasa bukan? Beruntunglah! Marilah saya ajarkan soalnya itu. Jadi kalau sudah dapat dan mengerti kamu harus menjalankan. Dan soalnya kalau kamu tidak mau, asal tidak mau saja. Siapakah yang dapat mengatasi orang yang sengaja sudah tidak mau?”

Share:

Refleksi Diri : Mengkaji Tanpa Aksi Hanyalah Suatu Fantasi ?

Oleh IMMawan Ahmad Mahbubi

Bendahara 1 PK IMM FKIP UMS

Mahasiswa memiliki peran yang sangat besar dalam masyarakat, yaitu sebagai agent of change, iron stock, guarding of value, moral force dan yang paling penting yaitu sebagai social control yang dapat menjadi penyalur lidah antara masyarakat dan pemerintah. Untuk dapat menjalankan peran-perannya, tak jarang mahasiswa melakukan kegiatan mengkaji dan menganalisis terhadap keadaan yang tidak sesuai dengan keadaan idealnya. Agar dapat menegatahui secara utuh kejanggalan yang terjadi, dengan harapan mengembalikan kepada keadaan yang di idealkan.

Menurut KBBI, mengakaji yaitu belajar, mempelajari, memeriksa, memikirkan, menguji atau menelaah. Sehingga dapat ditarik suatu arti, bahwa mengkaji adalah suatu kegiatan untuk mempelajari suatu keadaan dengan memeriksa, menguji maupun menelaah hingga menciptakan suatu kesimpulan yang harusnya dapat menciptakan suatu perbuatan yang nyata.

Lalu benarkan apabila mengkaji tanpa melakukan aksi hanyalah suatu fantasi belaka ?

Tidak bisa dibilang benar juga, karena menurut Safira Andriana (2017) bahwa apabila telah dilakukan suatu kajian terhadap suatu isu, maka dilakukan aksi. Hal ini mungkin sulit dilakukan di tingkat Mahasiswa secara langsung namun, aksi ini dapat berupa tulisan-tulisan yang ditujukan kepada instansi terkait seperti pemerintah, perusahaan ataupun organisasi.

Memanglah harapan dalam mengkaji adalah suatu aksi, karena pada saat kita mengkaji isu-isu kontemporer misalnya, kita akan mengetahui ilmunya dari berbagai sumber, lalu melakukan analisis serta mengkorelasikan antara keadaan idealnya dengan realita yang terjadi. Dengan harapan setelah kita mengetahui kesenjangan yang terjadi, lalu melakukan implementasi untuk meminimalisir kesenjangan yang terjadi dengan melakukan suatu aksi, baik itu secara lisan maupun tulisan.

Bagaimana dengan IMM sekarang ini ?

Menurut sudut pandang penulis yang hampir 2 tahun berproses di IMM FKIP UMS, tak dapat dipungkiri bahwa mengkaji merupakan kultur dari IMM sendiri. Namun sekarang ini, penulis mendapati bahwa kader-kader IMM semakin tidak peka terhadap isu-isu kontemporer yang bahkan terjadi di lingkungan kampus sekalipun. Contoh kecilnya yaitu isu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dilakukan oleh salah satu dosen di UMS sebagai pelaku dan mahasiswa baru sebagai korban. Ada banyak kader IMM FKIP yang tidak tahu mengenai isu tersebut.

 

 

Dan dimanakan IMM FKIP saat itu ?

Padahal kita tahu, bahwa di dalam organisasi IMM terdapat bidang IMMawati yang selalu melakukan kajian-kajian mengenai kesertaraan gender, HAM, kekerasan dan kesetaraan gender. Di manakah semua kajian tersebut? Penulis menyayangkan ketidakadaan aksi yang dilakukan oleh IMM FKIP terhadap isu tersebut.

Apakah spirit IMM menurut dari masa ke masa ?

Apapun itu, penulis berharap kader – kader IMM lebih respensif serta cepat tanggap terhadap isu – isu kontemporer yang terjadi di lingkungan sekitarnya serta dapat melakukan kajian yang dapat menghasilkan output berupa suatu aksi, baik itu secara lisan maupun tulisan.

Share:

Popular

Labels

Recent Posts

Label Cloud

About (3) Agenda (14) Artikel (22) bidang hikmah (4) Bidang Immawati (1) Bidang Kader (2) bidang SPM (1) BTKK (5) buletin (2) Data Base (2) ekowir (1) galeri (5) Immawan (2) Immawati (9) Informasi (10) islam (2) Kajian (1) MAKALAH (2) muktamar48 (2) Opini (16) Organisasi (4) Profil (1) Puisi (4) Resensi (6) Review (1) struktur (2) Tabligh (2)

QOUTES

Tidak akan ada kebenaran yang muncul di kepala, bila hati kita miskin akan pemahaman terhadap ajaran agama Allah.
-KH.Ahmad Dahlan