JEMPOL
TERBALIK BUAT DPP IMM
Oleh:
Rifqi Almuiz
Pesan untuk yang sedang
bermuktamar jangan lupa flash back pada pernyataan sikap yang
diluncurkan oleh beberapa cabang berikut ini: PC IMM Surakarta, PC IMM
Sukoharjo, PC IMM Tangerang, dan PC IMM Djazman Al-Kindi Yogyakarta.
Normalisasi
pemikiran politik praktis di tubuh ikatan ini semakin kontras terlihat, seperti
tidak ada jurang pemisah antara politik gagasan dan politik pragmatis. Ketua
Umum Dewan Pimpina Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Abdul
Musawir Yahya seharusnya diberikan sanksi berat atas pelanggaran kode etik yang
telah diperbuatnya. Padahal Langkah Muhammadiyah dalam menyikapi politik sangat
berhati-hati, namun yang terjadi justru kader-kader Muhammadiyah merusak dari
dalam mengenai gagasan kebangsaan yang telah dicetuskan oleh Muhammadiyah.
Hastrat
duniawi, jika ke depan tetap dinormalisasi, semakin mencerminkan bahwa IMM
kedepan bukan lagi Gerakan kaum akademisi yang berpihak kepada rakyat.
Melainkan Gerakan politik yang mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi di
pemilu. Jika seperti itu, lebih baik IMM mendirikan partai politik, kan lebih
konkrit, ketimbang menjadikan IMM sebagai tangga untuk naik ke senayan. Gak
kasihan dengan adik-adikmu yang sedang membentuk kader di taraf komisariat?
secara
keseluruhan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memegang teguh pada
penegasan IMM, terkhusus pada point keenam “menegaskan bahwa amal IMM adalah
lillahi ta’ala dan senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.” Penegasan
tersebut lahir setelah musyawarah nasional 1-5 mei 1965 di Surakarta, sehingga
di sebut dengan Deklarasi Kota Barat (Dekobar).
Dalam
deklarasi muktamar XVI (setengah abad) IMM juga disebutkan pada point keempat
“IMM independent terhadap politik praktis”. Deklarasi yang melahirkan penegasan
IMM tak dapat dipandang sebelah mata, lahirnya deklarasi dekobar dan setengah
abad tersebut bertujuan untuk menanggapi situasi kebangsaan, kenegaraan,
keislaman, dan pergerakan mahasiswa yang terjadi pada saat itu dan juga menjadi
landasan IMM di masa depan. hingga sampai saat ini IMM masih memegang landasan
tersebut dalam setiap langkahnya.
Tenun
kebangsaan yang telah digagas oleh kader yang telah mewaqafkan isi
kepalanya untuk organisasi IMM ini seperti menulis, berkarya, dan sebagainya
jangan sampai ternodai oleh kader-kader yang hanya ingin menunggangi ikatan ini
untuk hastrat berkuasa.
Momentum
muktamar kali ini memang begitu strategis karena diselenggarakan beberapa
minggu setelah pemilu serentak 2024. Jangan sampai esensi dari muktamar kali
ini dilupakan hanya untuk mengantri kursi-kursi di Istana Negara.
Gagasan-gagasan mengenai masa depan IMM seharusnya dipikirkan, jangan sampai di
akhir periode ini hanya meninggalkan jejak-jejak buruk terhadap ikatan ini.
Kader
delegasi dari setiap cabang se-Indonesia jangan hanya ber euforia pada momentum
muktamar ini, sebagai kader yang sadar seharusnya dapat menyumbangkan
pemikirannya untuk keberlangsungan IMM dan mempertahankan eksistensi maupun
jati diri IMM. Sehingga IMM tidak hanya ditunggangi sebagai alat untuk
mendapatkan kekuasaan, namun IMM dapat menjadi patron penggerak masyarakat,
Bangsa dan Negara.
Huru hara deklarasi bergerak 1912
Mengutip
pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari Kompas.id “penegasan untuk
netral dalam pesta demokrasi lima tahun itu menjadi salah satu point yang harus
disepakati dalam konsolidasi nasional Muhammadiyah menjelang pemilu 2024 di
Universitas Aisyiyah Yogyakarta”. Sudah jelas, sebagai warga Muhammadiyah harus
bersikap netral, tidak condong kepada salah satu paslon. Namun berbanding
terbaling dengan situasi yang terjadi pada saat menjelang pemilu dilaksanakan.
Menjelang
pemilu 2024 lalu, beberapa kader IMM terkhusus yang berada di pulau Jawa
terdeteksi terafiliasi dengan Gerakan Deklarasi bergerak1912. Termasuk beberapa
kader IMM yang masih berada di dalam struktural Cabang bergabung dengan Gerakan
tersebut. Tentu hal tersebut melanggar konstitusi IMM. Deklarasi tersebut
bertujuan untuk menyukseskan salah satu pasangan calon Presiden yakni Prabowo
dan Gibran.
Dari fakta tersebut sudah jelas terlihat bahwa Organisasi
yang bernama IMM ini di tunggangi untuk kepentingan politik praktis oleh
beberapa kader yang memiliki hastrat berkuasa dan mencari serpihan rupiah
semata. Landasan perjuangan yang telah diterbitkan oleh para pejuang organisasi
terdahulu tak diindahkan lagi, pantaskah diturunkan dengan hormat kader seperti
itu?.
Dalam acara muktamar di Palembang yang dilaksanakan pada
tanggal 1-3 Maret, beberapa kader yang memantau dari jauh cukup berbela sungkawa
atas kejadian yang tak di sangka-sangka, yakni laporan pertanggung jawaban
(LPJ) di terima dengan penuh. Dalam hati berbisik “kecewa dengan ikatanku”.
Dimana pertanggung jawaban DPP atas kejadian pemilu dan pelanggaran kode etik
di pemilu kemarin?! Belum lagi kecacatan-kecacatan lainnya yang merugikan
ikatan ini.
Jika mengatasnamakan ikatan, seharusnya kader-kader yang
berada di wilayah muktamar IMM mempertanyakan atas kejadian tersebut, jangan
pura-pura apatis dan seakan tidak tahu apa-apa, rugi datang ke Palembang namun
tidak memiliki gagasan yang dapat mencerahkan ikatan ini. Lebih baik pulang,
memperbaiki cabang masing-masing yang masih bobrok.
Kegaduhan yang terjadi di muktamar Palembang
menggambarkan kondisi IMM yang tidak baik-baik saja, menggambarkan begitu
primitifnya pemikiran tentang masa depan IMM. Hal tersebut dapat menjadi kabut
gelap yang mampu menutup gagasan-gagasan strategis untuk masa depan IMM yang
lebih baik.
Politik gagasan tentunya sangat diperlukan pada momentum
seperti muktamar untuk menjaga kewarasan dan kedewasaan dalam berpolitik untuk
tidak mengabaikan kepentingan masa depan IMM dan berhorison jauh.
Namun
yang terpenting adalah tidak menormalisasi politik praktis di tubuh ikatan,
untuk kader yang berorientasi pragmatis dan merusak pergerakan ikatan lebih
baik masuk partai politik!.