Umat yang Dirindukan

oleh: Muhammad Albi Almahdy
Kader PK IMM FKIP UMS 2021/2022

Suatu hari, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, mengimami salat subuh. Pagi itu, seusai sholat subuh Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya. “Menurut kalian siapakah makhluk Allah yang paling menakjubkan keimanannya?”.

Para sahabat menjawab, “Malaikat yaa Rasulullah!” 

Nabi menjawab “Bagaimana malaikat tidak beriman sedangkan mereka pelaksana perintah Allah.”

“Kalau begitu, para Nabi, ya Rasulullah.” 

Nabi menjawab “Bagaimana para Nabi tidak beriman, sedangkan wahyu dari langit turun kepada mereka.” 

“Kalau begitu, sahabat-sahabatmu ini (kami), ya Rasulullah.” 

Nabi menjawab lagi “Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan. Telah datang kepada kalian ayatayat Allah, kalian hidup bersama Rasul-nya Allah, kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda-tanda kerasulanku. Maka ketahuilah, orang-orang yang paling menakjubkan keimanan-nya adalah ummat yang datang sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, padahal tidak melihatku. Mereka membenarkanku tanpa menyaksikanku. Mereka menemukan tulisan (tentangku) dan beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa yang ada dalam tulisan itu. mereka membelaku seperti kalian membelaku. Mereka itulah saudara-saudaraku, mereka lah ummatku!” 

 Dalam Riwayat lain disebutkan: 

Dari Auf bin Malik dia berkata, Rasulullah bersabda : “Alangkah inginnya aku bertemu dengan saudara-saudaraku (ummatku).” 

Para sahabat bertanya: yaa Rasulullah, bukankah kami ini adalah saudaramu dan sahabatmu? Rasulullah menjawab : Bukan, tetapi mereka adalah ummat yang datang setelah kalian, mereka beriman kepadaku seperti keimanan kalian, mereka membenarkanku sebagaimana kalian membenarkanku, mereka menolongku seperti kalian menolongku, Alangkah baiknya aku bertemu dengan saudaraku (ummatku) itu! 

Kemudian Nabi saw. membaca (QS Al-Baqarah [2] : 3) “Mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menginfakkan sebagian dari yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Duur al-Mantsur [1:66-68] Tafsir Al-baqarah: 2). 

Berdasarkan kedua hadits diatas, bisa kita renungkan betapa besarnya kecintaan dan kerinduan Rasulullah kepada kita sebagai ummat setelahnya, sampai-sampai beliau mengulangi sabda-nya bahwa beliau ingin sekali berjumpa dan bertemu dengan ummat-nya. Ummat yang dalam hadits tersebut adalah ummat yang juga luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah, keimanan-nya mulia sebagaimana keimanan para sahabat, padahal ummat itu sama sekali belum pernah bertemu dengan Rasulullah. Siapa pula ummat itu jikalau bukan kita? 

Siapa lagi kalau bukan kita, karena kitalah ummat yang mengaku beriman kepada Rasulullah setelah wafatnya? Lantas apakah kita sekarang ini, yang bersaksi atas Rasulullah dan mengaku-ngaku beriman sudah benar-benar mencintai Rasulullah, sudahkan kita cinta kepada beliau sebagaimana cintanya Rasulullah kepada kita? Bahkan dalam Al-Qur’an sendiri dikisahkan bagaimana kasih sayang-nya Rasulullah kepada ummatnya, rela mengorbankan jiwa dan raga-nya, rela mengorbankan nyawanya.

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Surah At-taubah: 128)

Menjelang wafatnya Rasulullah, beliau berdoa “Ya Allah, kalaulah diperkenankan, mohon timpakan saja seluruh penderitaan (rasa sakit-nya) sakaratul maut ini hanya kepadaku, agar ummatku tidak merasakan lagi penderitaan sakaratul maut itu.” (Ust. Adi Hidayat) 

Ikhwah fillah... 

Renungkanlah, bagaimana permohonan kasih sayangnya Rasulullah untuk ummatnya dan kerelaan beliau yang mau mengorbankan segala-galanya hanya untuk kemudahan bagi ummat-ummatnya, itu menunjukkan betapa luar biasanya kerinduan Rasulullah kepada kita, beliau menginginkan kita bertemu dengannya. Lihatlah bagaimana perjuangan beliau agar kita mendapatkan kemudahan dan keringanan dalam menegakkan Islam dan Iman kita. Beliau ingin kita menjadi ummatnya yang beriman agar dapat berjumpa dengannya di akhirat nanti, alangkah tega-nya kita jika tak rindu dan cinta kepada Rasulullah, maka rugilah jika kita tidak menyadari hal ini, rugilah kita jika tidak menjadi orang yg bertaqwa dan beriman kepadanya, sangat merugilah kita jika tidak bertemu dengannya di akhirat nanti, sedangkan di dunia tidak pula bertemu dengannya.

Melihat keadaan kita di zaman sekarang ini, banyak orang-orang yang mengatakan bahwa mereka cinta dan beriman kepada Rasulullah, melantukan shalawat-shalawat kepada Rasulullah. Tetapi akhlaknya tidak sesuai dengan akhlak yang diteladankan oleh Rasulullah, amalan mereka sama sekali tidak menunjukkan cinta kepada beliau. Lihatlah keadaan ummat muslim yang mengaku-ngaku beriman kepada Rasulullah tetapi ketika mendengarkan ucapan atau hadits dari Rasulullah, mereka mengganggap itu tidak penting, tidak keren, merasa ucapan Rasul adalah sesuatu yang sudah biasa, tidak eksis dengan masa kini, dsb. 

Tetapi ketika mendengarkan ucapan para Ahli, ilmuwan-ilmuwan terkemuka, penyair-penyair, pepatah-pepatah, bahkan orang-orang kafir yang menghina-hina keaguangan Islam. Mereka atau bahkan kita lebih senang dengan hal tersebut, lebih setuju dengan perkataan-perkataan orang kafir yang tidak berdasar pada Alqur’an dan Sunnah itu, kita seakan mengganggap orang-orang itu lebih hebat daripada Nabi, orang-orang bijaksana yang harus diteladani... 

Apakah itu yang membuktikan cinta kita kepada Rasulullah? Atau Apakah orang-orang yang shalawatan dengan berjoget-joget ria itu, lalu dengan perbuatan maksiat tersebut adalah bukti cinta kepada Rasulullah? Apakah yang mengumbar-ngumbar auratnya, mengolok-ngolok agama, zalimnya para raja-raja, dustanya para pemuka agama, sistem pemerintahan yang biadab luar biasa, korupsi milyaran juta, tamak akan harta-benda, kemaksiatan ada dimana-mana, memperlakukan wanita dengan semena-mena, apakah itu yg disebut sebagai bentuk cintanya ummat ini kepada Rasulullah? Lalu dimana kebenaran itu ada? Apakah hanya diam menyaksikan tanpa berbuat apa-apa? Apakah kita pantas disebut sebagai ummat yg menyampaikan kebenaran, apakah kita pantas disebut sebagai ummatnya Rasulullah? Sedangkan kita hanya diam dan bungkam tanpa memperjuangkan apa yang dulu diperjuangkan oleh Rasulullah dalam melawan kemungkaran? atau jangan-jangan justru kita sendirilah yang menikmati kemaksiatan tersebut, lalu pantaskah kita dikatakan sebagai ummat-nya Rasulullah yang dirindukannya? 

 Di masa sekarang ini, banyak sekali konten-konten di tiktok, instagram, youtube atau media sosial lainnya terkait mengolok-ngolok agama, menormalisasikan LGBT, senang melihat romantis-nya orang-orang berpacaran, padahal itu adalah bentuk maksiat dan dosa yang dilabeli dengan keindahan, atau saat ini diperindah dengan istilah “Pacaran Islami” yang tujuannya agar saling mengingatkan untuk berbuat kebaikan dan sholat, padahal tidak ada istilah pacaran islami dalam islam itu sendiri, jelas itu adalah bentuk perbuatan zina yang nyata, mencampur antara yang bathil dengan yang Haq.

Baru-baru ini juga terkait lagu-lagu kemungkaran yang semakin disenangi oleh banyak orang, lagu “Tuhan Yesus, tidak berubah..” dsb. Banyak orang suka dan senang mendengarkan lagu mungkar tersebut? Padahal jelas Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan: -Sesungguhnya Allah ialah AlMasih putera Maryam-.” (QS. Al-Maaidah [5]: 72) 

Jelas Kafir orang yang mengatakan “Yesus adalah Tuhan dan sebaliknya Tuhan adalah Yesus”, apa bedanya orang yang mengatakan dengan yang mendukungnya. Jikalau kita malah senang dengan lagu mungkar tersebut, itu berarti sama saja kita mendukung dakwahnya kaum Nashrani lewat isi lagu tersebut yang berupa kemungkaran. Padahal yang selama ini Rasulullah perjuangkan adalah menentang kebatilan dan kesyirikan, Kalimat “Laa ilaha illallah” itulah yang dengan keringat darahnya Rasulullah perjuangkan dalam dakwahnya, tetapi mengapa dengan mudahnya kita mengganggap perkara ini adalah perkara yang biasa? Masih pantaskah kita sebut diri kita ini ummatnya Rasulullah? Masih pantaskah kita sebut diri kita ini cinta kepada Rasulullah? Masih pantaskah kita sebut diri kita ini rindu kepada Rasulullah? 

 Ikhwah fillah... 

Sadarlah saudara-saudaraku, kita berada di zaman penuh dengan fitnah, kemaksiatan dan kebathilan. Kita adalah ummatnya Rasulullah, kita harus memantaskan diri kita sebagai ummat yang dicintai dan dirindukan oleh beliau, kita memiliki peran untuk selalu menyampaikan dan memperjuangkan kebenaran, kita memiliki peran sebagai ummatnya Muhammad untuk meneruskan perjuangan dakwah beliau, dakwah yang Rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan pedoman Al-Qur’an dan As-sunnah. Semoga Allah kumpulkan kita di dalam surga-nya nanti bersama Rasulullah tercinta, semoga kita termasuk ummat yang selalu dirindukan oleh beliau. Alangkah indahnya kehidupan nanti, andaikan kita bisa bertemu dengan Rasulullah tercinta. Wallahu a’lam bisshawab

Share:

No comments:

Post a Comment

Popular

Labels

Recent Posts

Label Cloud

About (3) Agenda (14) Artikel (22) bidang hikmah (4) Bidang Immawati (1) Bidang Kader (2) bidang SPM (1) BTKK (5) buletin (2) Data Base (2) ekowir (1) galeri (5) Immawan (2) Immawati (9) Informasi (10) islam (2) Kajian (1) MAKALAH (2) muktamar48 (2) Opini (16) Organisasi (4) Profil (1) Puisi (4) Resensi (6) Review (1) struktur (2) Tabligh (2)

QOUTES

Tidak akan ada kebenaran yang muncul di kepala, bila hati kita miskin akan pemahaman terhadap ajaran agama Allah.
-KH.Ahmad Dahlan