RUU KUHP: Ketika Kebebasan Dipagari, Demokrasi Dipertaruhkan

Pengesahan RUU KUHP (tangkapan layar sosial media)

Di tengah keramaian kota dan derasnya arus informasi, satu kabar menyeruak memenuhi ruang publik: RUU KUHP yang baru disahkan, menjadi viral dan menimbulkan gelombang tanda tanya. Perubahan hukum seharusnya menjadi tonggak kemajuan. Namun, apa jadinya bila kemajuan justru memotong jejak panjang perjuangan demokrasi?

RUU KUHP hadir dengan dalih pembaruan. Digadang-gadang untuk menggantikan warisan kolonial yang sudah renta. Tapi dalam beberapa pasalnya, terselip potensi membungkam kritik dan mengerdilkan partisipasi masyarakat. Suara rakyat yang sejatinya adalah fondasi negara justru diperlakukan seolah ancaman yang harus dibatasi.

Apakah ini reformasi? Atau sekadar renovasi wajah kekuasaan agar kontrol tetap dalam genggaman?

Narasi besar yang mereka tulis adalah tentang kepastian hukum. Namun kita tahu, kepastian seperti apa yang dibangun bila kebebasan berbicara mulai dibatasi, bila kritik dapat dianggap kriminal, bila ruang berekspresi harus melalui izin penguasa?

Kita menolak lupa bahwa negeri ini pernah tersandung pada sejarah di mana suara rakyat dibungkam dan kebenaran hanya boleh bersuara pelan-pelan. Kita telah berjalan jauh sejak 1998. Luka-luka itu tak boleh terulang menjadi babak baru yang lebih sunyi.

Bangsa ini tidak boleh hidup dalam ketakutan untuk bertanya. Tidak boleh merasa bersalah hanya karena berpendapat. Tidak boleh diam karena takut kehilangan hak dasar untuk bersuara.

RUU KUHP yang baru disahkan ini bukan hanya teks hukum. Ia adalah penanda arah. Apakah kita melangkah pada demokrasi yang matang, atau justru kembali pada lorong panjang yang pernah ingin kita tinggalkan?

Kita tidak menolak perubahan. Tapi kita menolak perubahan yang melemahkan rakyat. Kita tidak menolak hukum. Tapi kita menolak hukum yang mengancam kemerdekaan untuk mengawasi kekuasaan.

Suara publik harus tetap lantang. Sikap kritis harus terus menjadi budaya. Karena demokrasi bukan diwariskan begitu saja ia dijaga, dipertahankan, dan diperjuangkan setiap hari.

Jika negara adalah rumah, maka kebebasan adalah jendelanya. Dan kita menolak tinggal dalam rumah yang jendelanya tertutup rapat hanya karena pemilik kuasa takut melihat dunia luar.


Share:

No comments:

Post a Comment

Popular

Labels

Recent Posts

Label Cloud

About (3) Agenda (15) Artikel (24) bidang hikmah (4) Bidang Immawati (1) Bidang Kader (3) bidang SPM (1) BTKK (5) buletin (2) Data Base (2) ekowir (1) galeri (6) Immawan (3) Immawati (10) Informasi (10) islam (2) Kajian (1) MAKALAH (2) muktamar48 (2) Opini (16) Organisasi (4) Profil (1) Puisi (4) Resensi (6) Review (1) struktur (2) Tabligh (2)

QOUTES

Tidak akan ada kebenaran yang muncul di kepala, bila hati kita miskin akan pemahaman terhadap ajaran agama Allah.
-KH.Ahmad Dahlan