Harari dalam buku monumentalnya, “Sapiens” menjelaskan bahwa melalui fiksi
manusia melangsungkan dan mempertahankan kehidupan serta membangun peradaban.
Beragam fiksi diciptakan oleh sapiens, meskipun tak selalu mengerti kebenaran
yang ditawarkan oleh fiksi tersebut. Namun, bagi mereka yang mempercayainya,
“fiksi” itu bukan dusta sama sekali.
Namun adalah sebuah fakta jika “fiksi” dapat membawa pada suatu kebaikan
juga keburukan di sisi lain. Fiksi tentang nasionalisme misalnya yang membuat
kita menjadi memiliki satu tulang dan satu darah dalam merah putih. Fiksi tersebut
telah lama tertanam dan mencegah pertumpahan darah. Namun disisi lain ada juga
fiksi yang membawa dampak buruk. Dalam sejarah penindasan ras misalnya kita
mengenal fiksi “kulit putih lebih unggul daripada ras yang berkulit hitam”.
Fiksi yang dijelaskan Harari bukanlah dalam artian sesuatu yang bersifat
khayalan atau rekaan semata. Namun yang menjadi fokus di sini adalah bagaimana
hal-hal fiktif tersebut dapat mempengaruhi tindakan-tindakan kolektif manusia.
Setiap kelompok manusia dalam rumpun tertentu mesti memiliki fiksi bersama yang
membuat mereka merasa memiliki ikatan. Tak terkecuali warga desa Wadas yang
telah hidup bersama bertahun-tahun lamanya.
Tentu warga Wadas memiliki fiksi
yang mereka percayai bersama sebagai sesuatu yang menjamin kelangsungan
hidupnya dengan bahagia. Dalam berbagai wacana tentang Wadas, digambarkan
masyarakat Wadas percaya bahwa alam adalah sumber dari segala kehidupannya.
Kebanyakan dari warga Wadas mempertahankan hidupnya dengan memanfaatkan sumber
daya alam yang tumbuh subur di desanya. Sehingga bagi mereka, perusakan
terhadap alam Wadas sama saja dengan merusak hidup Warga desa tersebut. Bagi
warga Wadas hidup harmonis nan indah dengan lingkungan yang tentram dan
menghidupkan tentu tak layak ditukar dengan planet mars sekalipun.
Telah bertahun-tahun, pemerintah menawarkan fiksi lain bagi warga Wadas. Pemerintah
yang ingin menjadikan Wadas sebagai quarry untuk menambang batu andesit untuk
kebutuhan membangun bendungan Bener menawarkan fiksi: warga Wadas akan
memperoleh kesejahteraan apabila mengikhlasan pembebasan lahan. Pemerintah juga
menjanjikan area penambangan akan direklamasi dan dijadikan tempat wisata sehingga menjadi
lapangan kerja baru bagi warga Wadas. Dengan berbagai riset para ahli yang
disebutkan, pemerintah juga berjanji proyek penambangan ini dilakukan dengan
memperhatikan risiko kerusakan lingkungan sehingga warga tak perlu khawatir
kehilangan mata pencaharian. Pejabat kenamaan, Pak Ganjar berkelakar, “Uang
ganti pembebasan lahan mau dipakai buat beli apa?” ia berharap uang ganti ini dapat
digunakan dengan bijak sehingga warga dapat hidup sejahtera. Begitulah Fiksi
yang ditawarkan pemerintah, yang menyatakan bahwa proyek ini adalah demi
kepentingan bersama.
Namun apakah demikian adanya? Saya kurang tau, sebab itu barulah fiksi yang
diawali dengan cerita-cerita ketakutan, penangkapan, pemukulan, atas nama
keamanan. Tak heran warga Wadas tak mau menempuh jalan cerita itu, meskipun
tawarannya menggiurkan warga Wadas sadar itu menipu. Sebab warga Wadas memiliki
fiksi, yang ia yakin lebih membahagian bagi cerita hidupnya.
Namun bagaimana warga Wadas dapat mempertahankan tanahnya, mempertahankan
ikatannya dengan rumpunnya, serta mempertahankan fiksinya. Warga wadas adalah
masyarakat kecil yang kebanyakan merupakan petani yang hidup dari ladang,
kebun, dan hutan wadas. Sedang ia menantang golongan kekuasaan yang tidak lain adalah
pemerintah beserta aparat-aparat bersenjatanya. Apa yang dapat menjamin hak-hak
warga Wada selain kelantangan suaranya.
Karakteristik warga Wadas yang demikian mengingatkan saya pada masyarakat di
kampung halaman saya, Lombok yang sebagian besar warganya juga merupakan
petani. Dalam sejarah panjang perjuangan di Lombok, banyak kisah perlawanan petani
dan warga kecil terhadap penjajah juga pejabat dan bangsawan yang lupa harga
dirinya. Telah banyak kekalahan yang dialami rakyat kecil melawan penguasa,
namun masih ada satu yang tersisa yakni suara yang disulut bara. Sebab harga
diri tak dapat ditukar bak harga benda. Sebuah kisah dalam lagu tradisional
Sasak menggambarkan sikap hidup yang demikian. Lagu tersebut berjudul Tegining
Teganang”. Berikut syairnya:
Leq jaman
laek araq sopoq cerite
Inaq
Tegining Amak Teganang arane
Pegaweane
ngarat sampi leq tengaq rau
Sampi sai
tekujang kujing leq tengaq rau
Inaq
Tegining Amak Teganang epene
Ongkat
dengan Tegining Teganang luek cerite
Ngalahin
datu si beleq-beleq ongkatne
Artinya:
Pada
dahulu kala terdapatlah sebuah cerita
Ibu
Tegining dan Bapak Teganang namanya
Pekerjaannya
menggembalakan sapi di tengah ladang
Sapi siapa
yang dizalimi di tengah ladang
Ibu
Tegining dan Bapak Teganang yang punya
Orang
bilang Tegining Teganang banyak cerita
Mengalahkan
raja yang besar-besar katanya
Melihat
apa yang terjadi di Desa Wadas, saya langsung teringat pada lagu Tegining
Teganang tersebut. Saya membayangkan Ibu-ibu Tegining yang yang dengan berani
duduk dibarisan terdepan berzikir, menyebut nama Tuhannya memohon perlindungan
dari nasib-nasib buruk yang mengintainya juga ladang leluhurnya. Juga
bapak-bapak Teganang yang bersedia menghadang apa-apa yang mengancam keluarganya.
Mereka bersetia menjaga kesederhanaan hidup
yang amat membahagiakan dan hanya itu yang mereka punya. Demi itulah mereka
berjuang. Mereka hanya mempertahankan hak-haknya dan mereka tak pernah ingin
ada perpecahan di kampungnya. Oleh sebab itu, tak patutlah mereka diamankan
dengan cara-cara kekerasan sebab sudah semula warga Wadas hidup aman. Sangat
ironi bagi warga Wadas bahwa mereka diamankan oleh orang-orang yang
menyakitinya.
No comments:
Post a Comment