Oleh IMMawati Fathan Hasana
Mucharom
Sekertaris Bidang Hikmah PK IMM FKIP 2019/2020
Manusia diciptakan Allah swt. dengan sempurna. Pasalnya, organisme manusia
memiliki organ ‘otak’ yang bersemayam dalam raganya. Otak berhubungan erat
dengan daya pikir, menurut (Daulay, Nurussakinah, 2017: 118) menyatakan bahwa
otak bagian kiri andil besar dalam analitik logis. Artinya, ia berperan penting
dalam pemberdayaan pikiran. Dalam buku “Islam dan Ipteks”, menurut (Shobron,
Sudarno, dkk, 2019: 14-15) menyatakan bahwa daya pikir ‘berpikir’ memasuki
ranah bagian fisik. Maknanya, akal berkaitan erat dengan adanya manusia terkait
tugasnya dalam mengelola bumi. Sehingga, kedudukan otak masuk pada ranah logis
yang realistis.
Implementasi daya pikir dapat ditinjau dari adanya konstruksi pikiran.
Nanti, akan muncul paham-paham hasil penelaahan pikiran yang terdalam. Sebagian
orang menggunakan hasil paham-paham itu dalam menyelesaikan kegiatannya.
Sejalan dengan itu, dalam buku yang berjudul “Deskripsi Perencanaan
Ketenagakerjaan”, menurut (Siagian, 1994), ia menyatakan bahwa perwujudan
rencana masa depan dimulai dari rencana yang matang dengan melibatkan
pemikiran. Jadi, daya pikir disepakati sebagai paham-paham yang nantinya
dijadikan sebagai pandangan bagi manusia.
Berbicara mengenai manusia, maka tidak lepas dengan statusnya sebagai leader of this world. Status itu tertera
jelas dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13. Kondisi demikian, memproyeksikan bahwa
keseharian manusia membutuhkan acuan yang disepakati bersama dalam mewujudkan
keidealan atau paling tidak mengurangi risiko adanya hal-hal yang semu.
Menelisik pernyataan di atas, manusia sejatinya membutuhkan kepastian hasil
konsensus bersama dalam wilayahnya.
Ibarat sebuah benda, konsensus diibaratkan sebagai cermin. Di mana salah
satu fungsinya adalah sebagai tempat merefleksikan diri. Jika dipantulkan
dengan adanya manusia yang ada dalam suatu bangsa, ini berkaitan erat dengan
pemikiran yang dijadikan paham dan tentunya didasarkan atas keabsahan bersama.
Dalam buku “Kekuasaan Politik: Perkembangan Konsep, Analisis, dan Kritik”,
menurut (Efriza, 2016: 150), menyatakan bahwa keabsahan merupakan padanan kata
dari legitimasi. Dalam buku yang sama (Efriza, 2016: 162-163), ia menyatakan
bahwa adanya legitimasi ideologis. Di mana dapat diartikan bahwa pelaku-pelaku
yang memiliki wewenang dalam berlegitimasi adalah pentolan yang dapat
memonopoli pengetahuan ke dalam tatanan masyarakat. Secara halus, monopoli
pengetahuan dikembalikan dengan istilah ideologi.
Berbicara tentang ideologi, dalam pendekatan filosofis yang menuntut adanya
keradikalan berpikir, ideologi sejatinya adalah keadaan sosial yang nyata.
Ideologi terbentuk atas keparsialan antara kekuatan pejabat teras dengan bumbu
produksi hasil pengeja wantahan kebenaran sosial (Adian, Donny Gahral, 2011).
Akhirnya, itu dipakai untuk cermin dalam perefleksian kehidupan berbangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, D. G., 2011. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori
Ideologi Kontemporer. Cetakan I ed. Depok: Koekoesan.
Efriza, 2016. Kekuasaan Politik: Perkembangan Konsep,
Analisis, dan Kritik. Malang: Instans Publishing.
Sudarno Shobron, M. J. d. T. S., 2019. ISLAM DAN IPTEKS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN. Edisi Revisi ed. Surakarta: LPPIK
UMS.
No comments:
Post a Comment