Perempuan Dalam Ruang Lingkup Fatamorgana


Oleh : Salsabila Azzahra 
Mahasiswa  Ilmu Komunikasi Kelas Internasional, Universitas Muhammadiyah Surakarta
PK. Adam Malik

“Ayah katakan kepadanya : Bahwa tahu, mengerti, dan menginginkan itu dosa bagi anak perempuan”-Kartini, 29-11-1901 

Lelaki dan perempuan adalah terobosan terbaik yang diciptakan Tuhan untuk semesta alam. Setara satu dengan yang lainnya. Manusia memiliki posisi tertinggi untuk memimpin dunia. Penelitian mengatakan bahwas organ biologis laki-laki dan perempuan berbeda, tapi tidak dengan haknya sebagai manusia.   

Perbedaan lelaki dan perempuan berdasarkan sudut non-biologisnya dinamakan dengan Gender. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum diidentifikasikan dari segi anatomi biologis manusia. Banyak sekali konflik yang mengatasnamakan ketidakadilan secara sex atau gender itu sendiri, diskriminasi terhadap perempuan marak adanya di masyarakat. 

Hal ini tentu sangat memprihatinkan bila pemerintah Indonesia menargetkan tahun 2045 sebagai tahun Indonesia Emas dengan salah satu aspek terwujudnya kesetaraan antara lelaki dan perempuan, mengutip dari laman VOA Indonesia (2020) pada tajuk berita dengan judul Ketidaksetaraan Gender Masih Tinggi di Indonesia oleh Rohika Kurnia Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan bahwasanya kesetaraan antara lelaki dan perempuan menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, katanya “Mulai dari kekerasan, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan. Juga masih banyak perkawinan anak, tingginya angka perceraian.

 Disadari atau tidak pada zaman yang merespon cepat modernisasi seperti saat ini masih banyak sekali kaum tradisionalis, patriarkis dimasyarakat kita yang mengedepankan kebanyakan aspek didasari oleh lelaki sebagai tokoh utama dan  perempuan berada pada posisi nomor dua baik dalam ruang lingkup domestik ataupun publik.

Maraknya perkawinan anak yang tidak berlandaskan ilmu pengetahuan serta sebab-akibat dari hal tersebut akan berujung pada 
perceraian, kita tidak tahu apakah anak yang dijodohkan tersebut menyetujui dengan pasti atau tidak. Kondisi ekonomi keluarga serta ketakutan sering menjadi landasan bagi mereka untuk bungkam menerima keadaan. Padahal pernikahan adalah ikatan lahir dan batin serta mempunyai hak dan tanggung jawab yang besar di dalamnya.  

Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor menyebabkan anak beresiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit untuk diubah. Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua mendorong anaknya untuk menikah di usia muda. (Eddy Fadlyana, 2009) 

Penanaman pemikiran kepada anak perempuan bahwasanya mereka dituntut untuk mematuhi segala perkataan lelaki masih marak terjadi di sekitar kita. Nasib perempuan seakan dipegang teguh bukan dari dirinya sendiri namun oleh pihak lain, seolah tidak ada ubahnya dari masa ke masa. Seperti sangat wajar bahwa ada pepatah jawa mengatakan “awan theklek mbengi lemek.” Yang artinya siang menjadi alas kaki, malam menjadi alas tidur (Setiawan, 2012)  dalam bukunya ia menyatakan bahwa adat juga menanamkan semangat “semua untuk semua” dan “satu untuk semua”, di sini sila kelima Pancasila menemukan akarnya. (Perpustakaan Nasional RI, 2017).

Pada hakikatnya adat istiadat serta norma yang berlaku di Indonesia didasari atas seberapa fungsionalnya seseorang di dalam masyarakat dan bukan mengarah kepada siapa jati dirinya. Kehidupan manusia diprakarsai oleh adat setempat, seakan terjadi doktrinisasi di dalamnya akan sebuah fungsi dari seorang perempuan. 

Ungkapan senada juga ada dalam pepatah Jawa yang menyatakan “Macak, masak, manak” yang bermakna perempuan hanya bisa merias wajah, memasak, lantas melahirkan. Seharusnya perempuan Indonesia sudah memiliki tempat lebih luas daripada itu. Kaum perempuan mampu untuk 
mengekpresikan diri dalam bersikap serta memilih jalan hidupnya pribadi tanpa didasari atau dipengaruhi oleh pihak lain.  

Karena pada hakikatnya lelaki dan perempuan diciptakan dengan hak yang sama dalam memimpin, mendapatkan keadilan, hingga dalam aspek pemerintahan. Sejatinya perempuan adalah tonggak peradaban dunia. Kartini pernah menuliskan dalam suratnya kepada nyonya Abendanon :”Perempuan pendukung peradaban. Dari perempuan manusia menerima pendidikan pertamanya, dipangkuannya anak belajar berfikir, dan berbicara.” (Yudistira, 2014). Perlu masyarakat sadari bahwa Indonesia memerlukan perempuan perempuan berintelektual untuk berkolaborasi dengan kaum lelaki dalam mengembangkan keadilan serta kemakmuran Indonesia. Lantas, kalau bukan kita, siapa lagi? 
  

Daftar Pustaka 

Eddy Fadlyana, S. L. (2009, agustus 2). pernikahan usia dini dan permasalahannya. permasalahan dalam pernikahan anak, p. 136. 

Perpustakaan Nasional RI. (2017). Online Public Acces Catalog. Retrieved from opac.perpusnas.go.id: http://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1006585 

Setiawan, H. (2012). Awan Theklek Mbengi Lemek : tentang perempuan dan pengasuhan anak. Yogyakarta: Sekolah mBrost dan Gading Publishing. 

Yudistira, A. S. (2014). Penjara Perempuan. Yogyakarta: komojoyo press. 
Share:

No comments:

Post a Comment

Popular

Labels

Recent Posts

Label Cloud

About (3) Agenda (14) Artikel (22) bidang hikmah (4) Bidang Immawati (1) Bidang Kader (2) bidang SPM (1) BTKK (5) buletin (2) Data Base (2) ekowir (1) galeri (5) Immawan (2) Immawati (9) Informasi (10) islam (2) Kajian (1) MAKALAH (2) muktamar48 (2) Opini (16) Organisasi (4) Profil (1) Puisi (4) Resensi (6) Review (1) struktur (2) Tabligh (2)

QOUTES

Tidak akan ada kebenaran yang muncul di kepala, bila hati kita miskin akan pemahaman terhadap ajaran agama Allah.
-KH.Ahmad Dahlan