10 November 2025 lalu, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto resmi mengangkat 10 nama untuk menjadi Pahlawan Nasional. Dari banyaknya tokoh tersebut, muncul salah satunya adalah H. M. Soeharto, Jenderal TNI (Purn.).
Keputusan pemerintah tersebut memunculkan keprihatinan mendalam dan penolakan moral dari berbagai elemen masyarakat yang menjunjung kejujuran sejarah. Langkah ini dinilai sebagai upaya yang berpotensi mereduksi catatan kelam Orde Baru dan mengabaikan penderitaan korban yang hingga kini belum sepenuhnya pulih. Pengangkatan tersebut bukan sekadar pemberian gelar, tetapi sebuah tindakan politik yang mengirimkan pesan keliru: bahwa pelanggaran hak asasi manusia, represi, dan penyalahgunaan kekuasaan dapat diabaikan demi narasi stabilitas dan pembangunan.
Selama lebih dari tiga dekade, masyarakat Indonesia hidup di bawah bayang-bayang pembatasan kebebasan, kontrol ketat terhadap ruang publik, serta praktik kekuasaan yang menimbulkan luka mendalam. Tragedi 1965–1966, penahanan tanpa proses hukum, pembungkaman pers, operasi militer di Aceh–Papua–Timor Timur, hingga rangkaian tragedi yang menimpa mahasiswa seperti Tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, serta penculikan, penganiayaan, dan penembakan misterius terhadap aktivis, bukan sekadar catatan pinggir sejarah itu adalah kenyataan pahit yang meninggalkan trauma serta kerugian besar bagi bangsa.
Mengangkat tokoh yang berkuasa di era penuh represi sebagai Pahlawan Nasional berarti mengabaikan suara para penyintas yang selama puluhan tahun menanggung beban kehilangan, stigma, dan ketidakadilan. Ini bukan hanya melukai ingatan mereka, tetapi juga mengancam objektivitas sejarah nasional.
Pemutihan sejarah seperti ini membuka peluang bagi kembalinya gaya kepemimpinan yang menormalisasi pembungkaman kritik serta melemahkan ruang demokrasi. Generasi muda berisiko menerima narasi sejarah yang disederhanakan dan dipoles sesuai hasrat penguasa demi citra yang baik di mata sejarah, sehingga kemampuan membaca masa lalu secara kritis dapat pudar bahkan hilang.
Menjaga ketegasan memori bangsa adalah bagian dari tanggung jawab moral seluruh warga negara. Kejujuran sejarah bukan untuk membangkitkan kebencian, melainkan untuk memastikan bahwa pelanggaran tidak kembali terjadi. Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah langkah yang bertentangan dengan semangat Reformasi dan nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi bangsa ini.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Siti Mutmainah mendorong seluruh elemen masyarakat untuk terus kritis, menjaga ruang publik yang sehat, serta menolak segala bentuk politisasi sejarah yang mengabaikan realitas penderitaan manusia. Bangsa yang menutup mata terhadap masa lalunya akan selalu berada di jurang pengulangan kesalahan yang sama. Menolak lupa adalah bagian dari merawat masa depan.





