Oleh : Achmad Mahbuby
Mahasiswa PGSD UMS
Apabila kita meneliti sejarah peradaban kaum perempuan dari masa jahiliah hingga masa saat ini, tak kan pernah terlepas dari yang namanya diskriminasi. Terlebih sebelum turunnya risalah kenabian, dimana perempuan sama sekali tidak dihargai bahkan hingga dianggap sebuah aib bagi keluarga yang melahirkan seorang perempuan. Sampai saat ini sebenarnya praktik-praktik diskriminasi terhadap kaum perempuan masih banyak terjadi, hanya saja kaum perempuan sendiri tak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang mengalami sebuah diskriminasi atau bahkan tidak peduli. Seperti yang ditulis oleh Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi sosial, disebutkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk, antara lain marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Eksploitasi terhadap kaum perempuan juga marak terjadi di era modern saat ini, dimana media sangat berperan segala lini kehidupan. Namun, media pun juga turut andil dalam eksploitatif kaum perempuan. Contoh yang sering kita jumpai sekarang ini yaitu erotisme tubuh perempuan yang dijadikan sebagai objek periklanan snack video, bigo live, dan aplikasi sejenisnya yang tersebar luas di media sosial. Arif Saifudin Yudistira dalam bukunya yang berjudul Penjara Perempuan menyebutkan fenomena tersebut sebagai erotika media massa yang selalu menyuguhkan perempuan sebagai objek kapitalisme yang empuk. Dalam menyikapi hal tersebut, perempuan harus mengambil porsi-porsi penting dalam setiap tatanan masyarakat. Gramsci dalam teori hegemoninya yang menjelaskan terkait kemenangan suatu kelas dominan. Ketika perempuan tidak mengambil peran-peran penting, maka dalam upaya penghapusan budaya-budaya patriarki yang terus melembaga akan menjadi suatu hal yang mustahil. Terkhusus perannya dalam student government kampus. Mengutip dari tulisan Riza Fitroh yang berjudul Perempuan dan Budaya Intelektual Profetik dalam buku Jejak Literasi yang diterbitkan pada tahun 2019, Ia menyebutkan bahwa kaum perempuan bukanlah sebuah kaum yang inferior, contoh konkrit adalah Ratu Saba’ yang telah memimpin tanpa mengesampingkan kaum laki-laki dalam mengambil sebuah keputusan
Arah Gerak Kementrian Keperempuanan
Dalam
membentuk suatu kementrian dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tentu tidak
asal melakukan pembentukan, namun juga perlu diperhatikan arah gerak kedepannya
akan seperti apa, agar supaya dapat terus berkelanjutan. Kementrian
keperempuanan dapat diarahkan pada terciptanya kesetaraan gender,
kesejahteraan, dan perlindungan perempuan dalam lingkup kampus, serta melakukan
kegiatan dalam rangka pemberdayaan perempuan. Namun yang akan menjadi urgensi
penting dalam pembentukan kementrian kerempuanan adalah menciptakan lingkungan
yang aman bagi perempuan.
Kementrian
keperempuan juga mampu untuk menjadi sebuah badan pelayanan pengaduan kekerasan
seksual dalam lingkup kampus, menjadi tim investivigasi dalam rangka
penyelidikan kasus kekerasan, serta dapat bekerjasama dengan psikolog dalam
penanganan korban. Kementrian keperempuanan juga mampu membuat sebuah SOP
penanganan kekerasan seksual di lingkup kampus, sehingga nantinya ketika
terjadi kasus kekerasan seksual baik berupa verbal ataupun non-verbal akan
dapat tertangani dengan sigap dengan mengacu pada SOP tersebut.
Sedikit
curhatan penulis yang merasa sangat prihatin, bahwa ketika kasus-kasus
kekerasan seksual dalam lingkup kampus justru tidak ditangani dengan serius
lantaran takut akan memengaruhi citra dan akreditasi kampus ataupun fakultas.
Namun dengan ditulisnya artikel ini Diharapkan mampu untuk menggungah semangat
para mahasiswa yang membaca serta dapat terealisasikan pembentukan Kementrian
Keperempuanan dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
No comments:
Post a Comment