Demokrasi, propaganda media, dan bagaimana kita bisa merdeka darinya

 


Resensi Buku Politik Kuasa Media

Sumber gambar: https://www.goodreads.com/book/show/17879769-politik-kuasa-media

Oleh: Lalu Muhammad Ilham Fajri

Ketua Bidang Hikmah PK IMM FKIP UMS 2021/2022


Bagi kita mahasiswa, kata demokrasi adalah makanan ringan yang sangat sering kita konsumsi baik itu di bangku pendidikan ataupun di televisi juga di meja-meja kopi. Tiap membicarakan demokrasi, masing-masing penduduk majelis diskusi bisa memaknai demokrasi dengan makna yang berbeda-beda. Ada yang memaknainya sebagai sistem politik, kebebasan, hak berusara, dan lain-lain. Namun dengan postulat yang lebih sederhana kita tentu sepakat bahwa demokrasi sebagaimana selogannya merupakan usaha “dari rakyat, demi rakyat dan untuk rakyat”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah ini dimakani menjadi “bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat”.

Noam Chomsky, seorang linguis kenamaan abad 20 ini juga mempersoalkan perkara demokrasi. Chomsky setuju bahwa memang demokrasi menyediakan ruang bagi rakyat untuk mengatur kesejahteraannya melalui hak bersuara yang dimilikinya. Di samping itu, sistem demokrasi ini memungkinkan adanya kebebasan dan keterbukaan. Namun, Chomsky juga menaruh kecurigaan yang amat besar pada sistem demokrasi. Dalam bukunya berjudul “Politik Kuasa Media”, ia menekankan bahwa tidak cukup memahami demokrasi dari makna kamus. Sebab ada makna lain yang sebenarnya tumbuh seiring berjalannya demokrasi. Makna lain itu oleh Noam Chomsky dijelaskan bahwa demokrasi yang berjalan bisa jadi sangat berkebalikan dengan makna demokrasi yang selama ini kita pahami. Demokrasi dalam kenyataannya dapat kita lihat sebagai sistem yang berusaha menina bobokan rakyat, serta menjaga agar rakyat tidak bangun dan mau ikut campur akan urusan pemerintahan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan kaum “empunya” kekuasaan. Agar kondisi ini tetap terjaga, dikerahkanlah kaum-kaum intelektual dalam dunia politik ataupun media massa melalui berbagai bentuk propaganda..

Rakyat yang tak tahu apa-apa tak lebih dari sekedar kaum pandir yang digembalakan melalui warta berita di media ataupun iklan-iklan hidup bahagia. Bagaimanapun caranya, kaum ini harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari kenyataan apa yang sebenarnya kaum empunya dan intelektual-intelektualnya rencanakan. Sebab demokrasi yang dijalankan tak selamanya berorientasi pada kepentingan rakyat. Ada kondisi di mana mereka yang memegang kuasa harus mengorbankan kepentingan rakyatnya.

Rekayasa persepsi adalah cara yang ampuh untuk menjaga demokrasi berjalan sebagaimana mestinya (menurut kepentingan yang berkuasa). Maka bak lagu Rekayasa Cinta milik Camelia Malik, “ Kalau cinta sudah di rekayasa/ dengan gaya canggih luar biasa/rindu buatan, rindu sungguhan/ susah dibedakan”. Media massa adalah pedang bermata dua dalam demokrasi, di satu sisi ia semestinya dapat membuka informasi agar masyarakat paham dan dapat turut andil mengurusi kebutuhannya. Namun di sisi lain, media massa juga dapat digunakan untuk menutupi mata jalang pelaku skandal-skandal politik yang haus harta dan kekuasaan. Skandal-skandal ini harus disensor dari pengelihatan dan pendengaran rakyat. Jika tidak, tentu akan jadi kekisruhan besar-besaran.

Propaganda merupakan serangkaian pesan yang dimainkan untuk mempengaruhi persepsi dan tindakan masyarakat. Propaganda dilakukan dengan harapan bahwa presepsi dan tindakan masyarakat sesuai dengan apa yang pelau propaganda harapkan. Chomsky mencontohkan ketika ada demonstrasi besar-besaran di Pensylvenia, pemerintah tidak mengatasi demonstrasi itu melalui cara-cara kekerasan, melainkan dengan memainkan propaganda. Caranya dengan membuat berbagai wacana yang mengubah presepsi masyarakat tentang aksi demonstrasi. Mereka yang semula semangat berdemonstrasi dibuat menjadi sangat membenci demonstrasi. Disebarkanlah wacana-wacana yang mengatakan bahwa demonstrasi dengan kekisruhan dan kata-kata kasar yang ada di dalamnya adalah wujud perbuatan yang tidak beradab lagi terhormat. Diaykinkanlah bahwa demonstrasi bukanlah cara untuk orang-orang terhormat seperti orang-orang Amerika.

Begitu canggih industri propaganda yang di miliki Amerika demi menjalankan hasrat oportunis yang dimilikinya. Sebagaimana pesan Remy Sylado dalam lagunya berjudul Sersan Tukiman; bahkan dengan jargon “demi kemanusiaan” tak tanggung-tanggung juga mereka membunuh jutaan manusia dengan perang. Perang Vietnam dan perang teluk dicontohkan Chomsky untuk menggambarkan kepiawaian Amerika dalam propaganda. Amerika berusaha merekayasa keadaan dengan memelintirkan sejarah agar seolah-olah mereka menjadi pahlawan atas perang yang diletuskannya. Amerika berusaha agar seakan-akan ketika menyerang dan menghancurkan satu pihak, akan terlihat sebagai bentuk melindungi dan mempertahankan diri. Misal, jika Amerika menghujani Vietnam selatan dengan bom, itu berarti Amerika sedang mempertahakan Vietnam selatan dari suatu pihak. Taruhlah orang Vietnam selatan itu sendiri karena tidak ada orang lain disana.

 Cara-cara yang demikian, sesekali perlu dilakukan apabila acara sepak bola atau komedi di televisi tidak lagi mampu mengalihkan perhatian rakyat pada kondisi sosial dan ekonomi Amerika yang semakin memburuk. Dengan menciptakan musuh bersama, maka perhatian rakyat akan terfokus ke arah itu. Dengan demikian rakyat tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi.

Terorisme yang selalu digambarkan berpenampilan bak Osama Bin Laden ataupun Saddam Hussein menjadi musuh bersama yang kerap dimainkan Amerika. Tragedi 9/11 dengan berbagai konspirasi di baliknya telah menimbulkan keparnoan yang luar biasa bagi masyarakat Amerika terhadap hal-hal yang berbau Arab dan Islam. Keparnoan itu yang kini kita kenal dengan islamophobia dan tidak hanya terjadi di Amerika namun juga menyebar di Indonesia. Islamophobia ini menjadi  virus yang menyebar melalui berbagai media massa selain virus sebelumnya red scare (ketakutan terhadap komunisme) yang efeknya tak semenakutkan dulu.

Namun tak dapat dipungkiri satu dua intelektual bisa tumbuh di kalangan rakyat, mereka mengoreksi besar-besaran atas segala jalannya pemerintahan yang buruk. Dalam demokrasi yang ideal tentu hal ini dipandang baik dalam menjaga girah dan nalar berdemokrasi. Namun kenyataannya demokrasi tak berjalan ideal, dan tentu sebaliknya intelektual yang berseru atas hak-hak rakyat itu dipandang ibarat kutil yang harus segera “diobati” dan dijaga agar tidak menyebar.Hasil pemikiran dari kelompok intelektual yang berpihak pada rakyat ini sebisa mungkin tidak menyebar. Rakyat yang memiliki keresahan yang sama atas pemerintah, sebisa mungkin tidak bersatu dan menyatukan pikiran. Sebab ini bisa sangat mengancam. Begitulah demokrasi dijalankan di mana tujuan utamanya bukan lagi demi rakyat melainkan demi urusan materiel: harta dan kekuasaan. Dalam demokrasi yang seperti ini, rakyat bisa jadi pengganggu; apalagi kalau rakyat sudah berpikir, bersatu dan berserikat. Pada 1935 gerakan Wagner Act membuat kaum buruh berhasil menduduki kursi legislatif. Bagi kaum empunya kekuasaan dan kekayaan, tentu hal ini merupakan penyimpangan dari demokrasi dan hal ini tidak boleh diulang.

Maka dari itu presepsi masyarakat harus tetap di kontrol melalui media massa. Berita tentang keburukan pemerintah harus ditutupi dan prestasinya harus diangkat. Musuh-musuh baru diciptakan untuk menutupi narasi-narasi yang menyasar rencana buruk pemerintah. Dan inilah ajaibnya propaganda. Kritik Chomsky ini sebenarnya tak hanya berlaku di Amerika melainkan kita juga bisa menggunakannya untuk melihat kenyataan politik di negara +62 atau dalam miniaturnya di student goverment (pemerintahan mahasiswa). Lantas apakah kita akan percaya pada warta berita di media?

Sebagai mahasiswa di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, tentu saya percaya bahwa pendidikan adalah salah satu jalan tol untuk melewati ini. Institusi pendidikan tak cukup hanya memproduksi intelektual, melainkan seharusnya memproduksi intelektual yang mampu berpikir bebas dan terbuka untuk menemukan kebenaran. Sehingga dengan kebebasannya itu, ia bisa membebaskan rakyat dari penindasan, kemiskian, kebodohan yang tersusun secara sistematis dalam sistem demokrasi yang korup.

Setelah membaca buku “Politik Kuasa Media” milik Noam Chomsky ini, saya teringat pada Allegory of Cave karya Plato yang saya kira dapat digunakan sebagai landasan pandangan kita mengenai pendidikan. Dalam kisah ini, Plato membagi dunia menjadi dua sisi yakni dunia di dalam gua yang gelap dan dunia di luar gua yang bermandikan cahaya. Barangkali kita adalah golongan manusia yang hidup terpasung di dalam gua sejak kecil, dan kita hanya bisa melihat kehidupan dari bayang-bayang yang muncul dekat mulut gua. Kita melihat bayang-bayang itu bergerak dan seolah-olah hidup dan kita memandang bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya.

Namun suatu waktu salah satu dari tahanan gua itu (katakanlah itu Kamu)  berhasil bebas dari belenggu dan perlahan berjalan mendekati mulut gua. Begitu keluar dari gua Kamu langsung diterpa masalah, yakni tak terbiasa dengan cahaya. Namun lambat laun Kamu berhasil beradaptasi dengan cahaya dan melihat kehidupan yang sebenarnya terjadi di luar gua. Lalu Kamu berkata, “oooh jadi ini yang terjadi sebenarnya”, lalu dengan pengetahuan itu Kamu kembali ke dalam gua lalu menceritakannya pada kawan-kawanmu yang masih terpasung di sana. Namun sayangnya mereka tidak percaya sebab mereka kadung nyaman dengan kehidupan dan segala realitas di dalam gua. Mereka pun memilih tinggal di sana dan enggan dibebaskan.

Pesan yang bisa kita tarik dari kisah yang ditulis Plato dalam Republika ini adalah bisa jadi realitas yang kita yakini sekarang bukanlah realitas sebenarnya. Bisa jadi realitas yang digambarkan dalam media massa hanyalah rekayasa penguasa. Bisa jadi kitalah orang-orang yang selama ini hidup di dalam gua dan percaya pada bayang-bayang semata.

Maka dari itu, saya kira sudah saatnya kita membebaskan diri dari belenggu kenyamanan. Sudah saatnya kita dengan berani mendaki gua, melangkah menuju cahaya. Agak sulit memang, menempuh jalan menemukan kebenaran. Butuh tenaga lebih agar tidak limbung, saat cahaya yang silau membuat kita linglung. Ada keraguan dan ada kebingungan yang turut mengikuti jejak kita, sampai lambat laun kita berhasil melakukan penyesuaian dengan kebenaran yang ada. Itulah proses belajar yang mesti kita jalani seiring kita menjadi dewasa. Dengan

 Begitulah semestinya pendidikan yang semestinya kita jalani, sebab kita tak dapat terbebas dari hidup yang fana. Namun perjalanan untuk menemukan kebenaran yang lebih hakiki, keabadian ada di sana.

Share:

3 comments:

Popular

Labels

Recent Posts

Label Cloud

About (3) Agenda (14) Artikel (22) bidang hikmah (4) Bidang Immawati (1) Bidang Kader (2) bidang SPM (1) BTKK (5) buletin (2) Data Base (2) ekowir (1) galeri (5) Immawan (2) Immawati (9) Informasi (10) islam (2) Kajian (1) MAKALAH (2) muktamar48 (2) Opini (16) Organisasi (4) Profil (1) Puisi (4) Resensi (6) Review (1) struktur (2) Tabligh (2)

QOUTES

Tidak akan ada kebenaran yang muncul di kepala, bila hati kita miskin akan pemahaman terhadap ajaran agama Allah.
-KH.Ahmad Dahlan