RESENSI BUKU
Oleh: Septi Windi Lestari*
Judul
buku : Djarnawi Hadikusumo dan
Muhammadiyah
Penulis : Gunawan budiyanto
Penerbit : Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah)
Kota
Terbit : Yogyakarta
Tahun
Terbit : 2010
Tebal
: XI + 124 Halaman
Peresensi : Septi Windi Lestari
Muhammadiyah
sebagai organisasi masyarakat bergerak di bidang social yang mendasarkan gerak
dan aktivitasnya pada Al- Quran dan Ash- shunah. Beramar ma’ruf nahi munkar
disebut juga gerakan islam modernis. Tidak hanya bergerak pada tataran pemikiran
tapi juga tataran praktis. Pada zaman millenium umat islam dihadapkan pada
permasalahan yang semakin kompleks. Yang dapat berakhir pada perubahan secara
mendasar konstruksi sosiologis umat. Djarnawi Hadikusumo dilahirkan pada hari
Ahad, tanggal 4 Juli 1920 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Nama kecilnya adalah
Djarnawi. Setelah dewasa, di belakang namanya ditambah dengan nama Hadikusumo.
Selanjutnya, untuk mengetahui latar belakang keluarganya dapat ditelusuri dari
nama belakangnya tersebut.
Nama
Hadikusumo adalah nama seorang tokoh Muhammadiyah yang juga murid dari K.H.
Ahmad Dahlan. Di dalam Muhammadiyah, nama Hadikusumo lebih dikenal dengan
sebutan Ki Bagus Hadikusumo. Dia adalah ayah dari Djarnawi. Adapun ibu dari
Djarnawi adalah Siti Fatimah/Fatmah.
Apabila
dirunut silsilahnya, dari garis keturunan ayahnya, Djarnawi berasal dari
keturunan keluarga Raden Kaji Lurah Hasyim, yaitu seorang abdi dalem santri
yang menjabat sebagai lurah bidang keagamaan di keraton Yogyakarta pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Sementara dari garis ibunya, dia
termasuk keturunan Raden Kaji Suhud yang juga seorang abdi dalem santri keraton
Yogyakarta. Dengan latar belakang seperti itu, berarti Djarnawi berasal dari
lingkungan keluarga yang berkultur abdi dalem dan santri. Hanya saja, pada
perkembangannya kemudian dia lebih tumbuh menjadi seorang santri yang taat dan
ulama yang disegani dari pada menjadi seorang abdi dalem.
Pada
dasarnya, Djarnawi lahir dari keluarga yang berkecukupan. Hanya saja, atas
permintaan salah seorang kerabat ayahnya yang bernama Ibu Sodik, Djarnawi
diminta untuk diasuhnya. Selama satu tahun, dia diasuh oleh Ibu Sodik yang
sampai usia senja belum dikaruniai keturunan. Oleh karena itu Ibu Sodik sudah
lanjut usia dan sering sakit, maka Djarnawi dikembalikan kepada orang tuanya.
Tidak lama setelah kembali ke pangkuan orang tuanya, ibunya wafat. Untuk
mengasuh anak-anaknya yang masih kecil, Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan
Ibu Moersilah. Untuk selanjutnya, di bawah pengasuhan Ibu Moersilah itulah
Djarnawi menapak masa remaja dan dewasanya.
Sementara
itu, latar belakang pendidikan yang dialami Djarnawi sangatlah sederhana.
Pendidikan formal yang mula-mula ditempuhnya adalah di sekolah Bustanul Athfal
Muhammadiyah di Kauman. Selanjutnya, secara berturut-turut dia meneruskan ke
jenjang berikutnya, yaitu ke Standaardschool Muhammadiyah dan Kweekschool
Muhammadiyah. Pada tahun 1935 Kweekschool Muhammadiyah diubah menjadi Madrasah
Mu`allimin Muhammadiyah. Di Madsasah Mu`allimin Muhammadiyah itulah tempat
terakhir pendidikan formal Djarnawi Hadikusumo.
Dari
uraian di atas tampak bahwa latar belakang pendidikan Djarnawi semuanya berada
di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Demikian pula guru-guru yang pernah
membimbingnya sebagian besar adalah tokoh dan ulama Muhammadiyah, seperti K.H.
Mas Mansur, K.H. Faried Ma`ruf, K.H. Abdul Kahar Mudzakir, Siradj Dahlan dan H.
Rasyidi. Selain itu, ketika bertugas di Sumatera, dia juga sempat berguru
kepada Buya Hamka dan Buya Zainal Arifin Abbas.
Selain
aktif di lembaga pendidikan Muhammadiyah, Djarnawi juga tercatat sebagai
seorang aktivis organisasi Muhammadiyah sebagai seorang pengurus. Untuk
aktivitasnya itu, Djarnawi juga memulainya ketika masih di Merbau. Pada saat
itu, dia aktif sebagai pengurus grup (ranting) Muhammadiyah Merbau. Ketika
pindah ke Tebingtinggi, dia aktif di Muhammadiyah Cabang Tebingtinggi.
Aktivitas Djarnawi di organisasi Muhammadiyah meningkat setelah dia pulang ke
Yogyakarta pada tahun 1949. Saat itu dia mulai tercatat sebagai salah seorang anggota
Majlis Tablig Pengurus Pusat Muhammadiyah hingga tahun 1962.
Selanjutnya,
pada tahun 1962 Muhammadiyah menyelenggarakan Muktamar ke-35 di Jakarta. Dalam
Muktamar tersebut dia terpilih sebagai sekretaris II Pengururs Pusat
Muhammadiyah. Sesudah itu, pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-36 di Bandung
tahun 1967 dia terpilih sebagai ketua III Pengurus Pusat Muhammadiyah. Untuk
pereode-pereode berikutnya, dia diangkat menjadi sekretaris PP. Muhammadiyah
berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Kemudian
sebagai wakil Ketua PP Muhammadiyah berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah
ke-41 di Surakarta tahun 1985 dan sebagai anggota PP. Muhammadiyah dengan
mengetuai bidang Tajdid dan Tablig yang mengkoordinasi Majlis Tarjih, Tablig, Pustaka
serta Lembaga Dakwah Khusus berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-42 di
Yogyakarta tahun 1990.
Aktivitas
lainnya di dalam organisasi Muhammadiyah juga tampak di lembaga Perguruan
Pencak Silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Lembaga Tapak Suci). Di lembaga
ini nama Djarnawi tercatat sebagai salah seorang tokoh utama ketika didirikan
pada tanggal 31 Juli 1963. Saat itu, dialah tokoh yang merumuskan do`a dan
ikrar perguruan Tapak Suci pada upacara peresmiannya. Di dalam kepengurusan
lembaga Tapak Suci yang pertama, nama Djarnawi diposisikan sebagai pelindung.
Selanjutnya, sejak tahun 1966 sampai 1991 dia dipilih sebagai Ketua Umum
lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah itu.
Dipercayanya
Djarnawi untuk menduduki posisi Ketua Umum itu karena dia dipandang sebagai
seorang tokoh yang mumpuni, baik di bidang keagamaan, kepemimpinan maupun
bidang beladiri. Untuk bidang yang pertama dan kedua telah dia buktikan melalui
aktivitasnya sebagai pengurus Muhammadiyah. Sementara untuk bidang yang terakhir,
dia dikenal sebagai salah seorang pendekar besar Yogyakarta. Di kalangan para
pendekar perguruan Tapak Suci, dialah tokoh yang menciptakan delapan jurus
utama perguruan tersebut. Selanjutnya delapan jurus itu dapat dikembangkan
menjadi puluhan dan bahkan ratusan jurus spektakuler. Kepandaian Djarnawi dalam
hal ilmu bela diri pencak silat tersebut dipelajarinya semasa mudanya di
Kampung Kauman. Selain itu, ketika bermukim di Sumatera dia sempat berguru ilmu
silat kepada Sutan Chaniago dan Sutan Makmun, dua orang pendekar besar di
Wilayah Sumatera utara.
Awal
mula keterlibatan Jarnawi dalam kancah Militer adalah upaya rakyat Tebing
Tinggi dari rongrongan intimidasi fisik oleh sisa-sisa militer jepang. Kemudian
muncul organ perjungan pemuda Tebing Tinggi. Pada saat itu Djarnawi dan pemuda
setempat membentuk Barisan Pemuda Indonesia ( PBI ) Djarnawi sebagai ketua III
dan Pada peristiwa berdarah Tebing Tinggi pada 13 Desember 1945. Aktivitas
Djarnawi di bidang politik mulai terlihat setelah memasuki decade tahun
1960-an bergabung dengan masyumi. Dan
pada 20 Februari 1968 Djarnawi dan Drs. Lukman Harun telah membentuk partai
politik Partai Muslimin Indonesia yang mewadahi aspirasi politik umat islam.
Namun kecintaannya pada muhammadiyah dan nalurinya dalam menulis Membuat
Djarnawi tidak meneruskan karir dalam militernya. Djarnawi merupakan seorang
pemikir dan penulis yang produktif. Djarnawi sudah menulis sekitar 25 karya
tulis. Ada yang di bidang islam dan kemuhammadiyahan ( Risalah islamiyah 1974),
Sastra atau Novel (Korban perasaan 1947), di bidang sejarah islam (Derita
seorang pemimpin: riwayat hidup, pejuangan, dan buah pikiran ki bagus
hadikusumo, 1979) , bidang kristologi atau perbandingan agama (Kristologi
1982), bidang pendidikan atau hobi ( Pendidikan dan kemajuan 1949). Asas
tunggal karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai keimanan kepada
Allah SWT. Penafsiran arti sila pertama dari Pancasila tersebut menurutnya
adalah untuk menghindari agar Muktamar tidak lagi menolak asas Pancasila, maka
Muhammadiyah akan sulit terlepas dari perpecahan dan pembubaran yang tentu
sangat merugikan Muhammadiyah sendiri.
Apa
yang dikemukakan Djarnawi di atas mengingatkan semua orang pada sikap ayahnya
ketika terjadi ketegangan berkaitan dengan rumusan dasar negara Indonesia pada
masa-masa awal kemerdekaan. Penerimaan Muhammadiyah terhadap asas Pancasila
akhirnya melegakan semua pihak. Oleh karena itu Muhammadiyah dianggap telah
lulus dari salah satu ujian berat yang pernah dihadapinya dalam perjalanan
sejarahnya. Muktamar yang berjalan penuh dengan ketegangan itupun kemudian
ditutup dengan rasa haru dan gembira pada tanggal 11 Desember dengan diiringi
lagu Mars Milad Muhammadiyah yang diciptakan Djarnawi pada sekitar tahun 1976.
Menurut
Djarnawi (1987) bentuk kepercayaan akan adanya kekuatan tersebut dapat bersifat
nyata nyata (lkesatuan ahir) dan tidak nyata (ghaib). Sedangkan arti manusia
menurut Djarnawi ialah kesatuan antara ruh dan jasad, dan pada saat itulah
manusia dikatakan mati, kehilangan daya gerak dan mati. Dari segi kristologi
Djarnawi (1982) berpendapat bahwa yesus atau isa bukanlah sebagai anak Allah
dan bukan pula sebagai Tuhan seperti yang diajarkan dalam agama Kristen, tetapi
dia adalah manusia biasa yang telah dipilih oleh Allah menjadi nabi dan
rasul-Nya sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Djarnawi (1982) berpendapat
bahwa ajaran atau dogma tritunggal ternyata tidak ada di Al-Kitab , baik dalam
Kitab perjanjian lama maupaun Kitab perjanjian baru. Mutiara hikmah Djarnawi
Hadikusumo yaitu yang di kuatirkan 6 Mei 1988, Tingkatkan kecerdasan orang kedua
8 Juli 1988, Enggan berkorban 22 Juli 1988, Ilmu Hakikat 5 Agustus 1988,
Meninggalkan shalat 26 Agustus 1988, Shalat fakhsya dan munkar 2 September
1988.
Djarnawi
pernah memberikan kritik tajam adanya program dua anak cukup, karena menurut
dia keluarga berencana adalah program merencanakan jumlah anak sesuai dengan
kemampuan keluarga yang bersangkutan. Djarnawi menentang keras program
penghilangan kesuburan perempuan dan laki-laki ( Vasektomi dan Tubektomi ),
karena dia beerpandanganbahwa cara ini merupakan cara bentuk penolakan rahmat
Allah yang telah diberikan pada manusia. Djarnawi berpandangan bahwa keluarga
berencana tidak bisa hanya dipandang dari susdut jumlah dan selisih umur antar anak, tetapi keluarga berencana
harus dipandang dari sudut ibadah dan
mencari ridla Allah sebagai manifestasi umat yang beriman dan bertakwa.
Djarnawi Hadikusuma meninggal dunia pada usia
73 tahun, tepatnya pada tanggal 26 Oktober 1993. Dia meninggalkan seorang
isteri, yaitu Sri Rahayu dan tujuh orang putera. Sebenarnya putera Djarnawi ada
sepuluh, tetapi yang tiga orang meninggal ketika masih kecil. Adapun tujuh anak
tersebut adalah Siswanto D. Kusumo (dokter), Hartono (Wiraswastawan), Pitoyo
Kusumo (Notaris), Darmawan Susanto (Wiraswastawan), Sri Purwaningsih (Pegawai
Negeri), Ahmad Poernomo (PNS) dan Gunawan Budiyanto (PNS).
*Kader IMM Komisariat FKIP UMS 2018
No comments:
Post a Comment