RESENSI BUKU
Oleh: Tedy Wijayanto*
Judul Buku : Tjokroaminoto : Guru Para Pendiri Bangsa
Pengarang : Majalah Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit : 2017
Tebal halaman : vix + 168 halaman
Beberapa hari lalu kita telah memperingati hari momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia, Hari Pahlawan. Telah 90 tahun berlalu hari momentum itu terjadi. Indonesia yang telah merdeka beberapa bulan, Belanda datang yang oleh ditungggangi NICA akan memporak-porandakan Kota Surabaya. Dengan kegigihan rakyat Surabaya yang dipelopori oleh Bung Tomo berhasil menaklukan pihak Belanda. Tentunya momentum hari pahlawan dimaknai sebagai refleksi bersama betapa pentingnya jasa perjuangan para pahlawan melawan penjajahan (red:penindasan) oleh kolonial. Presiden Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa menghargai jasa para pahlawannya.
Tempo selaku penggagas buku seri tokoh pernah mengalami kesenjangan ketika pembredelan pada tahun 1994. Setelah vakum selama beberapa tahun, diawal tahun 2000-an mencoba bangkit menata ulang dengan merekrut beberapa orang profesional di bidang sejarah dan jurnalistik. Akhirnya Tempo menerbitkan buku autobiografi bertepatan haul 100 tahun para tokoh Soekarno (2001), Mohammad Hatta (2002), Sutan Sjahrir (2009), dan Tjokroaminoto (2011).
Tak asing ketika membicarakan tokoh termasyhur Indonesia, Tjokroaminoto. Beliau lahir di Madiun, 16 Agustus 1882. Pada tahun 1882 merupakan bertepatan dengan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau. Dalam ramalan Jayabaya akan mucul seorang satria piningit (Messiah). Prediksi tersebut menampaknya tepat dalam perjalanan waktu Tjokro dijuluki Messiah dari Jawa. Tjokro yang lahir di kalangan bangsawan justru menentang keras sistem feodal. Dalam perilaku bangsawan biasanya tunduk dan patuh kepada bangsa Hindia. Tjokro menanggalkan gelar Raden dengan menggantinya dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Hal ini menunjukan sikap egaliter yang diinginkan Tjokro antara pribumi dengan bangsa Hindia.
Tjokro mengenyam pendidikan di Sekolah Administrasi Pemerintahan di Magelang. Setelah lulus menjadi juru tulis di Patih Ngawi. Ketika tinggal di Peneleh Surabaya, Tjokro juga pernah bekerja di firma Kooy & Co di perusahaan dagang di bagian administrasi. Namun tidak lama berselang lama Tjokro memutuskan untuk keluar dari Patih Ngawi karena dianggap kerja administratif sangat monoton.
Pada awal abad XX merupakan awal pergolakan pergerakan di Nusantara. Ditandai dengan lahirnya organisasi modern pertama yakni Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Berdirinya Boedi Oetomo yang dipelopori oleh kaum pelajar, Wahidin Hoedirohoesodo, dr. Soetomo, Tjipto Mangoekoesomo. Tujuan didirikan Boedi Oetomo ingin memerdekan Hindia Belanda dari kolonialisme Belanda. Namun, Boedi Oetomo mengalami senjakala ketika kepengurusan dipimpin oleh para kaum bangsawan yang pro-Belanda.
Awal perjuangan Tjokro dimulai ketika ia diajak oleh saudagar batik dari Laweyan bernama H. Samanhoedi untuk bergabung dengan Serikat Islam. Asal muasal Serikat Islam berawal dari perkumpulan ronda Rekso Roemekso. Perkumpulan ini bemaksud untuk menghimpun saudagar-saudagar muslim bersaing dengan saudagar batik Cina. SI tumbuh pesat memiliki ribuan anggota dan cabang di pelbagai daerah. Tjokro hadir membawa angin segar bagi SI. Selama kepemimpinan H. Samanhoedi belum dirasakan oleh anggota-anggotanya. Setahun berdiri SI melakukan kongres I di Surakarta. H. Samanhoedi yang berpendikan rendah belum bias menyusun anggaran dasar SI. Maka dari itu H. Samanhoedi meminta tolong Tirjo Adhi Surjo untuk menyusun anggaran dasar SI. Kongres II SI di Yogyakarta Tjokro terpilih sebagai Ketua Umum SI menyingkirkan kawannya, H. Samanhoedi. Tjokro yang memilik peringai kurus tegap dan mata yang memancar sangat digandrungi anggotanya. SI dalam kepemimpinan Tjokro SI menjadi organisasi politik mampu mengusik keberadaan pemerintah Belanda. Namun, Tjokro yang dijuluki sebagai Ratu Adil mulai goyah ketika SI lokal Sumatera yang diwakili Goenawan bekerjasama dengan H. Samanhoedi mencoba memainkan isu penyelewangan gulden (uang) untuk menggoyahkan Tjokro. Di sisi lain, ketika Tjokro tinggal di Yogyakarta sekaligus pertemuan dengan Hamka yang merupakan anggota SI. SI mulai mengalami pecah kongsi. SI Semarang yang dipegang oleh Semaoen dan Darsono ingin “memerahkan” SI. Karena dianggap SI yang dipimpin Tjokro terlalu kooperatif dengan pemerintah Belanda. Selain itu, Tjokro dipilih sebagai perwakilan SI di Volksraad (Dewan Rakjat).
Surakarta, Surabaya, Yogyakarta merupakan 3 kota yang menjadi tonggak revolusi bagi Tjokro. Ketika di Surabaya tepatnya di Gang Peneleh VII ia tinggal bersama isteri-Soeharsikin, dan kelima anaknya-Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, Islamiyah, dan Sujud Ahmad. Rumah belakang Tjokro juga menyediakan indekos. Soekarno, Kartosoewijo, Semaoen, Musso, Alimin, Tan Malaka pernah menghuni rumah tersebut. Di situ juga ada proses pendidikan baik agama ataupun pengetahuan umum. Tjokro juga membuat forum Ta’mirul Ghofilin yang diisi oleh Ahmad Dahlan. Rumah tersebut dapat dikatakan sebagai Sekolah Politik karena tak disangka mencipkan tokoh-tokoh pendiri bangsa. Walaupun setelah keluar dari rumah Gang Peneleh VII mereka berbeda haluan. Soekarno berkarakter nasionalisme, Kartosoewirjo berkarakter Islamis, dan Semaoen berkarakter komunisme.
Sisi lain Tjokro merupakan orator ulung yang mampu memberi api semangat perjuangan bagi rakyat dan penulis yang tajam di berbagai surat kabar Oetoesan Hindia dan Fadjar Asia. Pemikiran fenomenal Tjokro ialah Islam dan Sosialisme. Maka tak lazim ketika Tjokro dijuluki sebagai “Raja Tanpa Mahkota”. Pada tahun 1433, Tjokro sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tahun 1434 karena penyakit ginjal.
Buku ini begitu detail dalam menerangkan Tjokro karena melalui observasi yang mendalam dengan sejarahwan hebat dan kerabat-kerabat dekat Tjokro.
*Sekretaris Umum IMM Komisariat FKIP UMS Periode 2018-2019
*Sekretaris Umum IMM Komisariat FKIP UMS Periode 2018-2019