Mahasiswa dan Negeri Politik
(IMMawan Erwid ‘Athaya Nahari Pratama)
Tahun 2014 mungkin adalah tahun yang
istimewa bagi sebagian orang, karena 2014 bisa dikatakan tahunnya pesta
politik. Bahkan jauh sebelum tahun 2014, beberapa orang telah menyiapkan
rencana dan strategi untuk tahun 2014 ini. Belum lama ini kita baru saja
meramaikan pestademokrasi di negeri kita ini. Tepat tanggal 9 April 2014
kemarin telah dilaksanakan pemilihan umum, yaitu pemilihan umum untuk tataran
partai politik serta calon dari masing-masing partai.
Masing-masing partai berlomba untuk
mendapatkan suara terbanyak agar bias menikmati “kursi empuk” untuk para
wakilnya. Bicara tentang partai politik, belum lengkap rasanya kalau bukan
mahasiswa yang berbicara tentang masalah ini. Mahasiswa bias dikatakan sasaran
empuk sebagai pemilih pemula, karena sebagian mahasiswa masih berumur 19-22
tahun yang mana artinya pemilu tahun ini adalah pengalaman pertama mereka
berpartisipasi. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga tidak terlalu
mempedulikan pengalaman pertama ini.
Dari sejumlah mahasiswa yang telah saya
temui dan saya jadikan sebagai penguat artikel ini, mereka masih tidak
mempedulikan yang namanya pemilu. Ada juga yang hanya ikut karena keluarga ada
hubungan dengan salah satu parpol dan bahkan yang lebih ironis ialah ketika mau
mengikuti pemilu hanya karena adanya uang. Salah seorang mahasiswa UMS
mengatakan bahwa bila kita masih ikut dalam pemilu 9 April kemarin, berarti
kita merelakan kehancuran negeri kita sendiri. Alas an mahasiswa tersebut
berkata demikian ialah karena menurut dia bahwa sebagian dari calon legislative
bukan dari tataran negarawan atau yang memiliki basic politik yang baik. Kita
lihat di beberapa daerah ada calon yang berlatar belakang dari seorang tukang
tambal ban, tukang sol sepatu, tukang sayur, da nada juga partai yang mengajak
dari kalangan selebritis untuk menjadi calon legislative. Melihat latar
belakang para calon mungkin memang ada yang berasal dari golongan menengah,
akan tetapi sanggupkah mereka memperbaiki Negara kita ini? Padahal beberapa
partai politik hanya menggunakan orang-orang kecil seperti mereka untuk
dijadikan umpan. Andai kata orang-orang yang berlatar belakang menengah ke
bawah tersebut menang dan menjadi anggota legislative, bukannya malah mereka bias
menjadi penerus calon koruptor selanjutnya karena mungkin saja pada saat proses
pelaksanaan kampanye mereka telah menelan cukup banyak biaya dan setelah bias
menikmati kursi empuk ada peluang untuk mendapatkan pengganti dana kampanye.
Selain pandangan mahasiswa terhadap
partai politik, ada beberapa kondisi yang terjadi antara partai politik dengan
mahasiswa. Beberapa partai politik menggandeng mahasiswa untuk terlibat
langsung dalam kampanye mereka. Tujuannya tentu saja agar mampu mendapatkan
suara yang cukup pada pemilu. Tapi tidak hanya itu, ada sebagian parpol yang
menggandeng mahasiswa dan mampu melaksanakan pencerdasan politik di kalangan
pemilih muda, karena sebenarnya ada beberapa partai yang memerlukan ide-ide
segar dari para mahasiswa. Tapi mungkin sikap apatisme yang kuat membuat
jarangnya mahasiswa yang ikut dalam permainan politik nasional. Kita lihat
beberapa tokoh nasional saat ini, dulunya adalah aktivis mahasiswa, tetapi
sekarang seakan mereka tutup mata, tutup telinga akan masalah dan polemic
bangsa. Peranan partai politik dalam mengubah peranan mahasiswa di masyarakat
itu sangatlah kuat. Tapi mungkin mahasiswa, termasuk saya, melihat peranan
partai politik hanya negative karena kita juga belum pernah terjun langsung ke
dalam partai politik.
No comments:
Post a Comment