“Serba-Serbi Kartini”
Kartini Merupakan Putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat
(Bupati Jepara), lahir di Jepara, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang 17
September 1904. Sebagai anak bangsawan, Kartini beruntung bisa mengenyam
pendidikan untuk belajar bahasa Belanda sampai umur 12 tahun di Europese Lagere
School. Setelah itu dia harus di rumah dan siap dipingit. Dalam kesendiriannya,
Kartini suka membaca majalah Belanda serta membuat surat untuk teman-teman
wanita Belanda yang berisi kegalauannya terhadap permasalahan perempuan pribumi
kala itu. Pada usia 24 tahun, tepatnya tanggal 12 November 1903, Kartini
dipersunting bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat,
yang sudah memiliki tiga istri. Dan pada usia 25 tahun saat melahirkan anak
pertamanya, Kartini wafat.
Kartini bergejolak. Pada waktu itu, kebudayaan Jawa memang
tidak menyetarakan derajat wanita dan pria, diantaranya:
1. Wanita
Jawa yang sudah memasuki masa remaja tidak bisa bersekolah lagi.
2. Wanita
Jawa pada waktu itu harus bersedia dinikahkan dengan sisapapun atas perintah
orang tua.
3. Wanita
Jawa pada waktu itu juga harus mau dan rela untuk dimadu.
Keadaan-keadaan di atas memang
membuat kaum wanita terlihat rendah. Tidak ada yang memikirkan perasaan para
wanita karena mereka semua harus patuh dan tunduk pada aturan adat di masa itu.
Kemudian kartini menjalankan
aksinya dengan:
1. Menulis
semua kegelisahan hatinya tentang permasalahan perempuan Indonesia untuk
mendapat perhatian dan saran yang membangun.
2. Bersama
suaminya, mendirikan sekolah perempuan di lingkungan kantor kabupaten rembang
yang ditempatinya.
3. Emansipasi,
berupa menghilangkan aturan adat Jawa yang memberatkan perasaan kaum wanita di
masa itu. Memberikan kebebasan bagi wanita-wanita Jawa di masa itu untuk dapat
mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Menghilangkan perlakuan semena-mena
para pria Jawa di masa itu, agar tidak lagi merendahkan kaum wanita.
Dari hasil kontribusi kartini
tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Kepeutusan Presiden Republik Indonesia
No. 108 tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini tanggal
21 April untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besaryang kemudian dikenal
sebagai hari Kartini.
Mari kita koreksi lagi. Kartini
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, padahal tidak ada andil yang
benar-benar jelas layaknya seorang pahlawan yang turun ke lapangan untuk
berperang melawan penjajah. Kartini waktu itu memperjuangkan wanita yanghidup
di daerahnya, yaitu Jepara. Namun kemudian diasumsikan sebagai perjuangan
beliau dalam memperjuangkan wanita di Indonesia. Banyak pahlawan wanita yang
jauh lebih berani ternyata tidak mendapatkan perlakuan khusus. Surat-surat yang
ditulis Kartini juga banyak yang meyakini bahwa itu adalah hoax.
Sebenarnya selain Kartini, masih
banyak pejuang wanita di Indonesia, diantaranya:
1. Dewi
Sartika
Perintis pendidikan perempuan Indonesia dari Sunda. Sejak 1902, dewi
Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil,
di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota
keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu. Usai berkonsultasi dengan Bupati
R.A Martanegara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka sekolah istri
(sekolah perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya 3 orang yaitu
Dewi Sartika, dibantu 2 saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid
angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo
kabupaten Bandung.
2. Cut
Nyak Dien
Lahir pada tahun 1848 di Kerajaan Aceh dan beliau meninggal dunia di
wilayah pengasihannya di Sumedang pada tanggal 6 November 1908 di Jawa Barat. Merupakan
wanita tangguh dengan pedang dan bala tentara melawan penjajah Belanda tanpa
gentar.
3. Malahayati
Adalah salah seorang pejuang perempuan yang berasal dari Kasultanan Aceh.
Nama aslinya adalah Keumalahayati. Malahayati memimpin 2000 orang pasukan Imong
Bolee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan
benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis
de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat
gelar laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal
dengan Laksamana Malahayati.
4. Nyi
Ahmad Dahlan
Adalah
tokoh emansipasi perempuan dari Yogyakarta. Tahun 1914 ia mendirikan Sopo
Tresno, dia memimpin kelompok membaca Al-Qur’an dan mendiskusikan maknanya.dan
kemudian mengganti nama menjadi ‘Aisyiyah. Melalui ‘Asisyiyah, Nyai Ahmad
Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan
program pendidikan islam bagi perempuan. Dia juga berkhotbah menentang kawin
paksa, dia juga mengunjungi cabang-cabang di seluruh Jawa. Berbeda dengan
tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka. Sekolah Aisyiyah
dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: Pendidikan
di rumah, pendidikan di Sekolah, pendidikan di masyarakat dan pendidikan di
tempat-tempat ibadah.
Selain para pejuang kemerdekaan
RI, berikut adalah pejuang masa kini:
1. Lutfiah
Sungkar, mubalighah, penerima Asean Moslem Award
2. Siti
Musdah Mulia, ahli peneliti utama Depag, penulis
3. Zakiah
Daradiat, penceramah agama, psikolog, pengajar.
4. Alda
Vitayala S.H, Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI.
5. Aisiah
Girindra, Presiden Dewan Hala Dunia. Akademisi
6. Annika
Neice Bowaire, Juara lomba Fisika Dunia
7. Avilliani,
Ahli Ekonomi, Peneliti Lembaga INDEF
8. Bernadette
N. Setyadi, Ahli Psikolog, Ahli Pendidikan, Penulis
9. Chusnul
Mar’iyah, Ahli Ilmu Politik
10. Damayanti
Rusli Sejarif, Ahli Kesehatan Anak
11. Desnayetti,
Ahli Hukum, Hakim Agung Mahkamah Agung Indonesia,dll.
Berdasarkan uraian tersebut,
selanjutnya bagaimana yang harus kita lakukan???? Kartini secara nasional telah
memiliki apresiasi dengan adanya hari khusus memperingati jasa-jasanya. Meskipun
tidak terlepas dari kontroversi layak atau tidaknya. Yang jelas, sebagai wanita
kita mengambil hikmah dari sosok Kartini, mengikuti pola pikirnya. Namun tetap
bersandar pada kewajaran agama yang telah disahkan oleh Tuhan. Tidak harus
mengambil peran laki-laki, tetapi bisa menjadi patner kerja yang cerdas dan
berdedikasih.