Pelangi Senja
-Karya Istiqomah Noor
Fajri-
Sebuah cerita -hanya cerita, bukan cerpen- yang terinspirasi
dari kisah nyata. Sekali lagi, hanya terinspirasi. Persamaan tokoh, latar
maupun kejadian mungkin memang sebuah kesengajaan...
Adi, begitulah orang-orang
memanggilnya. Seorang anak laki-laki yang luar biasa hebat. Kecerdasannya sudah
menjadi perkiraan orang-orang sejak ia masih balita. Dan itu terbukti seiring
berjalannya waktu masa pertumbuhannya. Tak hanya kecerdasannya, kekuatannya
dalam menghadapi cobaan hidup begitu luar biasa, bahkan senyumnya bisa membuat
orang lain menangis terharu. Ujian ketika dia ditinggal oleh ibunya karena
penyakit mematikan, kanker. Dimana dia harus berusaha tegar dengan menghadirkan
senyum disetiap tangis ayah dan kakak-kakaknya. Ujian ketika perekonomian
keluarga mulai melemah. Dan masih banyak ujian lainnya yang membuatnya semakin kuat.
Dinda, seorang gadis manja yang
keinginannya harus dituruti. Seorang gadis yang mudah menangis ketika apa yang
ia miliki hilang atau pergi. Seorang gadis yang begitu menggemari boneka mickey
mouse. Seorang gadis yang selalu ingin menjadi anak kecil, dan begitu sensitif
dengan kata “dewasa”. Dinda bukanlah saudara kandung Adi. Mereka hanya sebatas
sepupu. Namun hubungan mereka seperti saudara kandung. Begitu sayang dan
perhatiannya Adi kepada Dinda. Selalu memanggilnya dengan panggilan kesayangan,
“Nduk”. Ya, begitulah semua sepupu Dinda memanggilnya. Karena dari 14 cucu
eyangnya, Dinda adalah satu-satunya cucu perempuan yang sangat disayang.
Mungkin itulah kenapa Dinda tumbuh menjadi gadis yang sangat manja.
“Alhamdulillah mas masuk UNNES, nduk. Diterima di progdi
PGSD. Terima kasih untuk doa dari adikku tersayang ini.”
Adi memang anak terakhir dari 4
bersaudara. Jadi tak heran, sayangnya pada Dinda begitu luar biasa besar.
Karena dia tak memiliki adik kandung.
“Waah... Alhamdulillah mas. Ntar aku nyusul mas ah. Tapi aku
masuk Bahasa Inggris aja. Biar bisa ke Luar Negeri. 2 tahun lagi aku nyusul
mas.”
Adi adalah seorang aktivis di
kampusnya. Entah seperti apa perjuangannya di kampus itu, hanya orang-orang
yang berjuang bersamanya yang mampu menceritakan kisah itu. Bukan Dinda, karena
yang ia tahu hanyalah menunggu kepulangan Adi dari Semarang ke Solo tiap bulan
sekali. Selalu menyempatkan berkunjung ke rumah Dinda, bermain bersama kakaknya
dan keluarga yang lain, selalu berpamitan dengan simbah ketika hendak kembali
ke Semarang, dan rutinitas lain yang tanpa cerita berarti.
Berbeda dengan cerita mereka
waktu kecil, cerita saat mereka masih suka bermain ke sawah, mencari ikan,
bermain layang-layang, panjat pohon belimbing yang masih tumbuh sampai
sekarang, dan bahkan untuk pertama kalinya, mereka menanam pohon pepaya
bersama.
“Nduk, ayo tanam
pohon ini. Satu pohon untukmu, satu pohon untuk mas. Kita lihat pohon siapa
yang akan tumbuh lebih dulu”
Begitulah masa kecil mereka.
Hingga beberapa tahun terlewati seiring tumbuhnya pohon pepaya itu. Pohon yang
mereka tanam bersama di rumah simbah. Pohon yang buahnya bisa dinikmati
keluarga besar mereka. Pohon yang selalu punya cerita indah.
“Punya mas pohonnya lebih tinggi. Huh... Aku kalah deh...”
rengek Dinda
“ Gak papa Nduk. Yang penting kan berbuah. Syukuri aja.
Hehehe...”
Masa SMA dilewati Dinda tanpa
Adi. Sebuah SMA negeri yang cukup bagus di kota itu. Masa dimana Dinda
menemukan cinta pertamanya. Masa dimana Dinda menemukan banyak pengalaman luar
biasa yang membuatnya sedikit berfikir tentang kedewasaan. Ikut organisasi sejak
SMP tidak membuatnya kaget ketika harus terjun di dunia aktivis, seperti ROHIS,
hingga pramuka. Organisasi yang menorehkan cerita-cerita indah dalam hidupnya.
Dimana dia mulai mengenal orang-orang hebat dan orang-orang yang tak ada
hubungan darah dengannya menjadi keluarga yang begitu menyayanginya. Sahabat
yang selalu menjaganya dan tak pernah membiarkannya menangis.
“Mungkin sudah waktunya aku mulai berfikir tentang
kedewasaan. Ya, aku harus berubah.”
Memang sulit menuliskan cerita
dan kisah hidup Adi dan Dinda. Kisah yang terlalu panjang untuk ditulis dalam
lembaran-lembaran kertas. Singkat cerita, waktu berlalu hingga tiba pada suatu
malam yang tak kan pernah Dinda lupakan. Malam yang lain dari malam-malam
sebelumnya. Dimana malam itu Dinda ingin tidur lebih awal dari biasanya.
Mungkin hari itu hari yang cukup melalahkan. Ba’da isya’ dia sudah menyiapkan
tempat tidurnya untuk sejenak memejamkan mata hingga pagi.
Namun, tiba-tiba suara teriakan
Wahyu, kakak kandung Adi, mengagetkannya hingga terbangun dari tidurnya yang
baru beberapa menit.
“Bulek, Bulek...” Begitulah Wahyu memanggil ibu Dinda
“Ada apa, Wahyu? Malam-malam kok teriak kayak gitu. Nggak
enak didengar tetangga.”
“Adi, Bulek... Adi...” Tangis begitu saja membanjiri pipi
Wahyu
“Adi kenapa?”
“Adi kecelakaan ba’da magrib tadi di Boyolali.” Tangisnya
semakin menjadi-jadi
“Astaghfirullah.. Dari mana kamu tahu berita itu?”
“Tadi polisi datang ke rumah dan mengabarkan berita itu.”
Wahyu mulai tenang untuk bercerita.
“Terus, gimana keadaan Adi? Dirawat dimana? Apanya yang
sakit?”
“Kata polisi, Adi....” Wahyu terdiam sejenak.
“Adi kenapa...??? Apa parah kondisinya?”
Air mata Wahyu semakin deras
“Adi meninggal...”
Dinda yang sejak tadi
mendengarkan cerita Wahyu dari balik pintu kamar hanya terdiam. Seolah tak
percaya dan berharap dia terbangun dari mimpi buruk ini. Air mata mengalir
begitu saja tanpa bisa dia rasakan. Pikirannya entah pergi kemana. Membayangkan
semua kenangannya bersama Adi. Membayangkan hari-hari berikutnya yang akan ia
lewati tanpa Adi, tanpa tutur lembutnya, tanpa senyumnya, dan tak kan mampu
lagi mengukir cerita-cerita indah bersama Adi.
Pohon pepaya yang ia tanam
bersama Adi juga telah mati satu. Milik Dinda yang mati, dan milik Adi masih
tumbuh hingga kepergian Adi menghadap Sang Maha Pencipta. Yah, pohon itu selalu
punya cerita. Cerita yang tak mampu ia ukir lagi bersama Adi.
Dengan langkah kaki yang begitu
lemah, perlahan Dinda berjalan menghampiri Ibunya dan Wahyu. Memeluk erat sang
ibu dengan air mata yang masih mengalir, tanpa sepatah katapun keluar dari
bibirnya. Wahyu juga masih terduduk lemas di depan pintu. Hening, hanya suara
tangis yang terdengar di malam yang gelap itu. Malam yang akhirnya memberikan
cerita terakhir Adi bersama orang-orang yang sangat mencintainya.
Malam itu, untuk pertama kalinya
Dinda tidak memejamkan matanya dalam tidur yang lelap. Menunggu, adalah
satu-satunya hal yang bisa Dinda lakukan saat jenazah dijemput dari sebuah
rumah sakit di kota Boyolali. Keluarga, sahabat dan orang-orang yang pernah mengukir
cerita bersamanya mulai membanjiri rumah Adi. Rumah yang akhirnya dia
tinggalkan.
“Awalnya Adi udah dilarang pulang malem. Tapi dia nekad.
Katanya pengen ketemu orang-orang rumah. Habis sholat magrib di Boyolali, dia
jatuh. Terlindas bus karyawan. Adi meninggal di tempat. 2 bulan dia nggak
pulang. Padahal besok dia mau dapat beasiswa.” Begitulah Wahyu menceritakan
kejadian itu.
Ya, seperti yang orang-orang
ketahui tentang kecerdasan Adi. Tidak heran beasiswa itu ia dapatkan. IP lebih
dari 3,8 menjadi bagian dari prestasi yang ia raih. Sekolah-sekolah terbaik di
kota itu menjadi saksi perjuangannya dan hanya meninggalkan cerita saja.
Akhirnya mobil jenazah itu tiba
dengan membawa sesosok manusia yang dinantikan kedatangannya oleh Dinda dan
semua orang yang menemaninya. Sesosok manusia yang masih tetap tersenyum saat
semua orang menangisinya. Seorang laki-laki yang wajahnya masih terlihat begitu
cerah meski darah merah membanjiri wajah itu. Wajah yang tak kan pernah mereka
lihat lagi.
Dinda hanya bisa memandang wajah
itu dengan air mata yang masih menetes. Sekali lagi, dia berharap terbangun
dari mimpi yang tak pernah ia harapkan. Kembali pikirannya bermain-main dengan
semua kenangannya besama Adi. Hanya ada nama Adi di pikirannya malam itu.
Menyentuh wajahnya yang begitu dingin dan membeku.
Mengantar kepergiannya menuju
sebuah singgasana terakhir kala pagi menyapa. Melihat orang-orang membawa
keranda itu menghilang dari pandangannya. 13 Mei 2010, adalah akhir dari
perjumpaan itu. Ikhlas dan ridho atas semua ketetapan Sang Illahi. Menyadari
bahwa Allah sangat mencintai Adi, hingga memanggilnya lebih dulu dari yang lain
di usianya yang hampir 19 tahun. Dinda hanya bisa berdoa dan berharap Allah
menjadikan Adi seorang syuhada.
Lalu, apa lagi yang bisa
diceritakan dari Adi dan Dinda? Semua sudah berakhir bukan? Tapi tidak bagi
Dinda. Adi selalu mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupnya. Menjadi insprasi
yang tak mampu diberikan orang lain. Saat Dinda jatuh cinta, saat Dinda
menangis, saat Dinda berjuang, saat Dinda kehilangan, dan saat Dinda tertawa
bahagia, selalu ada nama Adi yang tersemat dalam relung kalbunya.
Kemudian, mengapa penulis
memberikan judul “Pelangi Senja” pada cerita singkat ini? Ya, Adi, dialah
pelangi senja untuk Dinda. Yang selalu memberikan warna indah kala malam hendak
membawanya ke dalam buaian indah.
No comments:
Post a Comment