Mahasiswa dan Partai Politik

Mahasiswa dan Partai Politik
(IMMawati Woro)
Terdapat ungkapan dalam filsafat bahwa manusia merupakan zoon politicon yang artinya manusia berpolitik. Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa manusia sejak lahir telah memiliki potensi untuk berpolitik, antara lain daya dorong atau keinginan untuk berkuasa, merebut kekuasaan, memimpin, memiliki kewenangan dalam mengambil kebijakan dan mempunyai pengaruh yang luas.
Di sini saya mengutip pernyataan yang dilontarkan oleh Agus Chandra mantan politicus PDI-P. “Apa bedanya politikus zaman perjuangan Kemerdekaan Indonesia dengan politicus pada saat ini?” “ Politicus zaman perjuangan Kemerdekaan Indonesia berjuang lantas dipenjara kemudian baru menjadi pejabat. Nah kalau politikus saat ini, jadi pejabat dulu baru kemudian dipenjara.
Parpol telah tercemar oleh keinginan berkuasa dan untuk mencari materi. Parpol telah gagal menjalankan fungsinya sebagai alat rekruitmen pejabat public. Melihat hal semacam itu yang dapat dijadikan acuan/tumpuan perubahan politik Indonesia yaitu berada di tangan mahasiswa dan intelektual kampus yang masih memegang teguh idealism.
Sekarang banyak calon anggota parlemen dan pejabat public yang didasarkan pada kekuatan keuangan calon dan bukan terletak pada skill atau keahliannya. Sebagai contoh saat pemilu 9 Apri 2014 kemarin cukup banyak calon legislative demi untuk meraih kekuasaan/menduduki jabatan tertentu memilih jalur untuk membeli suara rakyat. Akibatnya mereka yang benar-benar memiliki kemampuan memimpin malah kalah oleh mereka yang punya uang banyak.  
Namun perpolitikan model sekarang ini juga mulai mewabah di tengah-tengah mahasiswa. Maraknya parpol yang masuk kampus rasanya adalah suatu hal yang tidak asing lagi. Bahkan tidak jarang mahasiswa yang ikut serta aktif dalam menyukseskan partai aksi perpolitikan. Seperti halnya kampanye-kampanye politik yang diwadahi secara tersirat oleh pihak kampus bahkan organisasi kemahasiswaan.
Hal ini terlihat ketika adanya acara-acara organisasi kampus yang bekerjasama dengan parpol. Baik sekedar menyampaikan kata sambutan dalam sebuah acara, membuka forum diskusi sampai dengan seminar yang pematerinya adalah orang-orang yang berasal dari parpol. Pastinya hal tersebut mengandung unsur-unsur kampanye yang diiming-imingi dengan bantuan dana. Karena secara tidak langsung, organisasi telah mewadahi parpol tersebut masuk ke ranah kampus walaupun hanya sekedar sambutan, diskusi atau memberikan materi dalam sebuah seminar. Memang tidak sedikit mahasiswa yang beranggapan bahwa tidak salah kalau mahasiswa menerima sesuatu dari parpol yang bersangkutan karena tidak ada janji yang mengikat untuk memilih partai tersebut.
Terlepas dari itu, ada dampak terselubung yang mampu menghipnotis pemikiran mahasiswa. Sebab, secara tidak sadar pencitraan yang dimunculkan oleh politicus dalam acara seminar/kuliah umum dapat menarik simpati mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa tidak sadar bahwa dalam pembicaraan tersebut merupakan bentuk kampanye yang akan menguntungkan pihak politicus itu sendiri.
Organisasi mahasiswa yang independen harus dapat membuktikan bahwa mereka tidak bisa dibius begitu saja oleh parpol dengan iming-iming memperoleh suntikan dana demi kelancaran acara. Artinya mahasiswa seharusnya tidak bisa dijadikan sebagai bahan untuk mendapatkan jumlah suara bagi parpol.
Idealnya mahasiswa seharusnya tidak terlibat dengan parpol, apabila berusaha untuk menjadi tim sukses sebuah parpol. Mahasiswa harus kembali ke idealismenya sebagai agent of change. Belajar untuk memperkuat eksistensi Negara demi kemakmuran dan keadilan bagi seluruh masyarakat bukan untuk eksistensi parpol.

Share:

Mahasiswa dan Negeri Politik

Mahasiswa dan Negeri Politik
(IMMawan Erwid ‘Athaya Nahari Pratama)

Tahun 2014 mungkin adalah tahun yang istimewa bagi sebagian orang, karena 2014 bisa dikatakan tahunnya pesta politik. Bahkan jauh sebelum tahun 2014, beberapa orang telah menyiapkan rencana dan strategi untuk tahun 2014 ini. Belum lama ini kita baru saja meramaikan pestademokrasi di negeri kita ini. Tepat tanggal 9 April 2014 kemarin telah dilaksanakan pemilihan umum, yaitu pemilihan umum untuk tataran partai politik serta calon dari masing-masing partai.
Masing-masing partai berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak agar bias menikmati “kursi empuk” untuk para wakilnya. Bicara tentang partai politik, belum lengkap rasanya kalau bukan mahasiswa yang berbicara tentang masalah ini. Mahasiswa bias dikatakan sasaran empuk sebagai pemilih pemula, karena sebagian mahasiswa masih berumur 19-22 tahun yang mana artinya pemilu tahun ini adalah pengalaman pertama mereka berpartisipasi. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga tidak terlalu mempedulikan pengalaman pertama ini.
Dari sejumlah mahasiswa yang telah saya temui dan saya jadikan sebagai penguat artikel ini, mereka masih tidak mempedulikan yang namanya pemilu. Ada juga yang hanya ikut karena keluarga ada hubungan dengan salah satu parpol dan bahkan yang lebih ironis ialah ketika mau mengikuti pemilu hanya karena adanya uang. Salah seorang mahasiswa UMS mengatakan bahwa bila kita masih ikut dalam pemilu 9 April kemarin, berarti kita merelakan kehancuran negeri kita sendiri. Alas an mahasiswa tersebut berkata demikian ialah karena menurut dia bahwa sebagian dari calon legislative bukan dari tataran negarawan atau yang memiliki basic politik yang baik. Kita lihat di beberapa daerah ada calon yang berlatar belakang dari seorang tukang tambal ban, tukang sol sepatu, tukang sayur, da nada juga partai yang mengajak dari kalangan selebritis untuk menjadi calon legislative. Melihat latar belakang para calon mungkin memang ada yang berasal dari golongan menengah, akan tetapi sanggupkah mereka memperbaiki Negara kita ini? Padahal beberapa partai politik hanya menggunakan orang-orang kecil seperti mereka untuk dijadikan umpan. Andai kata orang-orang yang berlatar belakang menengah ke bawah tersebut menang dan menjadi anggota legislative, bukannya malah mereka bias menjadi penerus calon koruptor selanjutnya karena mungkin saja pada saat proses pelaksanaan kampanye mereka telah menelan cukup banyak biaya dan setelah bias menikmati kursi empuk ada peluang untuk mendapatkan pengganti dana kampanye.
Selain pandangan mahasiswa terhadap partai politik, ada beberapa kondisi yang terjadi antara partai politik dengan mahasiswa. Beberapa partai politik menggandeng mahasiswa untuk terlibat langsung dalam kampanye mereka. Tujuannya tentu saja agar mampu mendapatkan suara yang cukup pada pemilu. Tapi tidak hanya itu, ada sebagian parpol yang menggandeng mahasiswa dan mampu melaksanakan pencerdasan politik di kalangan pemilih muda, karena sebenarnya ada beberapa partai yang memerlukan ide-ide segar dari para mahasiswa. Tapi mungkin sikap apatisme yang kuat membuat jarangnya mahasiswa yang ikut dalam permainan politik nasional. Kita lihat beberapa tokoh nasional saat ini, dulunya adalah aktivis mahasiswa, tetapi sekarang seakan mereka tutup mata, tutup telinga akan masalah dan polemic bangsa. Peranan partai politik dalam mengubah peranan mahasiswa di masyarakat itu sangatlah kuat. Tapi mungkin mahasiswa, termasuk saya, melihat peranan partai politik hanya negative karena kita juga belum pernah terjun langsung ke dalam partai politik.
Share:

Popular

Labels

Recent Posts

Label Cloud

About (3) Agenda (15) Artikel (24) bidang hikmah (4) Bidang Immawati (1) Bidang Kader (3) bidang SPM (1) BTKK (5) buletin (2) Data Base (2) ekowir (1) galeri (6) Immawan (3) Immawati (10) Informasi (10) islam (2) Kajian (1) MAKALAH (2) muktamar48 (2) Opini (16) Organisasi (4) Profil (1) Puisi (4) Resensi (6) Review (1) struktur (2) Tabligh (2)

QOUTES

Tidak akan ada kebenaran yang muncul di kepala, bila hati kita miskin akan pemahaman terhadap ajaran agama Allah.
-KH.Ahmad Dahlan