Oposisi dan Petahana
Oleh: Abid Ismail Abdulhakkam*
Kontestasi politik di Indonesia merupakan bukan hal
baru, pemilu ada sejak era orde lama masa
kepemimpinan Ir Soekarno sudah terjadi kontentasi politik yaitu pemilu dalam
sejarahnya (Widianingsih 2002) Indonesia telah menyelenggarakan pemilu sejak tahun
1955. Pemilu berarti bukan merupakan suatu kontestasi perpolitikan yang belum
pernah terjadi di Indonesia tetapi sudah cukup dewasa. Dan pemilu di Indonesia
sudah di lakukan berkali – kali mari kita menengok ke era Presiden Soeharto
atau yang kita kenal dengan rezim orde baru (Widianingsih 2002) Pemilu telah terlaksana secara berturut – turut pada
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, maka pemilu bukan sesuatu yang benar
– benar terjadi pada akhir ini tetapi pada orde baru pun sudah melakukan pemilu
walapun kita sudah tau hasil dari pemilu yang dilaksanakan pada era orde baru
yaitu kemenangan Soeharto.
Pemilu di Indonesia merupakan ajang pergantian kepemimpinan kekuasaan di
lembaga pemerintahan walapun pada era orde baru pemilu merupakan acara yang hanya simbolis saja karena di adakanya pemilu pada saat itu presiden tetap Soeharto
dan golkar tetap berkuasa. Sehingga pada tahun 1998 terjadinya reformasi untuk
menurunkan rezim orde baru yang sangat beringas dalam penyakitnya yaitu
kopursi, kolusi, dan nepotisme. Rezim otoriter di turunkan oleh suatu gerakan yang di gerakan oleh banyak pemuda dan salah satunya mahasiswa
dan akhirnya rezim tersebut runtuh pada tanggal 21 Mei 1998, dari pemilu –
pemilu yang telah terjadi di Indonesia sejak awal hingga tahun 2019 pasti ada
segolongan orang yang tidak sepakat atau berbeda pandangan satu sama lain dan
juga ada golongan yang banyak mengkritik dan tidak suka dengan pemerintah atau
dengan lawan politiknya diksi tersebut biasa disebut golongan oposisi. Oposisi
merupakan suatu hal yang wajar dalam kontes perpolitikan di Indonesia oposisi
sudah ada sejak pemilu 1971 di di gaungkan oleh Arief Budiman Dkk menurut (Hutari n.d.). Arief budiman bersama kawan – kawan yang kemudian
menggerakan gerakan golongan putih atau golput karena resah kontes politik pada
saat itu golongan putih walapun tidak bisa begitu saja kita menilai sekelompok
orang menjadi oposisi tetapi yang terjadi sekelompok tersebut memang memiliki
kepentingan yang berbeda dari pemerintah sehingga mengkritik pemerintah yang
tidak sesuai dengan kepentingan mereka atau tidak sesuai dengan jalan yang
seharunya dilakukan oleh pemerintah.
Petahana dan oposisi sering di artikan sebagai sekelompok orang yang
berbeda kepentingan atau yang satu menjadi bagian dari pemerintahan dan yang
satunya lagi bukan sebagai bagian dari pemerintahan sehingga terjadi dialektika
antara satu sama lain dikarenakan berbeda pandangan, ideologi, kepentingan
sehingga sering terjadinya perbedaan pendapat dalam menanggapi suatu
permasalahan. Pada pemilu saat ini para petahana maupun oposisi mempunyai
koalisi karena yang satu pemikiran dalam koalisi tersebut entah dari pandangan
atau yang jelas terlihat karena terjadi perbedaan kepentingan yang menjadi
tujuan koalisi tersebut tampak jelas bahwa polarisasi dari dua kubu karena
memiliki kepentingan yang sangat berbeda dalam perpolitikan menurut si penulis
perbedaan sudah terjadi dari hal yang sangat mendasar seperti ideologi, dan
sudut pandang sehingga dalam retorika-retorika yang di jalankan oleh kedua
belah pihak sangat lah berbeda, baiknya dari polarisasi ini kita dapat melihat
permasalahan dari dua sudut pandang dan menjadikan dialektika dari sudut
pandangan yang berbeda tetapi kita juga harus melihat sisi negatif dari
polarisasi ini. Dalam setiap sesuatu mesti terdapat sisi baik maupun sisi buruk
dan kita harus menganalisis agar kita tidak terjebak dalam sisi keburukan dan
kita harus menganalisis mana yang baik dan mana yang buruk, sebaiknya kita
dapat mengasah pisau analisis kita terkait polarisasi ini kita tidak hanya
kemudian terdoktrin oleh apa yang di dapat dari pihak satu dengan yang lain
tetapi kita dapat mengambil hal positif dari pandangan yang berbeda.
Oposisi dan petahana secara tidak langsung , sadar atau tidak sadar
polarisasi yang di buat akan terasa hingga tataran akar rumput masyarakat, mengutubnya kedua kubu ini
berimbas hingga tempat ngopi yang berada di daerah perkampungan maupun di pos
ronda desa karena sangat lah terasa polarisasi ini dan pada tahun ini pemilu
dilaksanakan kemudia menjadikan dua kubu antara kudu yang pro dengan petahana
dan yang pro dengan oposisi hal–hal serupa juga terjadi hingga tataran
masyarakat kelas bawah terjadinya masyarakat yang pro petahana dengan
masyarakat yang kontra dengan petahana sampai-sampai dalam kegiatan sehari-hari
juga mereka yang pro dan kontra akan menggabungkan diri dan memperbincangkan
kepada kelompok yang sama pilihanya.
Perbedaan pandangnya yang terjadi di elite politik tidak memikirkan
bagaimana imbasnya yang terjadi di
masyarakat tataran akar rumput dan pertanyaanya akan kah terjadi seperti ini
secara terus menerus? Apalagi masyarakat Indonesia yang sangat reaksioner
dibuar menjadi dua kutub maka akan lebih reaksioner dalam menanggapi suatu
permasalahan atau informasi dapat memperkeruh keadaan saat ini. Seharusnya
dalam konteks perpolitikan oposisi sebagai penyeimbang dari kekuasaan(Penguatan et al. 2016). Menurutnya penguasa harus di diimbangi dengan adanya
oposisi tersebut apabila di kontekskan di Indonesia saat ini maka pemerintah
agar tidak sesukanya sendir maka harus ada grup penekan yang bukan dari dalam
pemerintahan tetapi di luar pemerintahan. Tetapi malah hal tersebut
mengakibatkan polarisasi di Indonesia karena masyarakatnya yang terlalu
reaksioner, sehingga kita sebagai masyarakat yang sadar harus mencerdaskan
kehidupan bangsa dan sudah menjadi tugas intelektual untuk mencerdaskan
kehidupan di sekitar tidak menjadi onani belaka. Karena apabila masyarakat
Indonesia saat ini apabila masih terus menerus seperti ini akan menjadi lebih
keruh lagi suasana yang terjadi apalagi akan menghadapi pemilu 2024 mendatang
maka kita harus mempersiapkan mulai dari sekarang perbincangan terkait politik
tidak hanya dilaksanakan lima tahun sekali tetapi dilakukan setiap hari menuju
pemilu yang di adakan lima tahun sekali, karena apa agar tidak reaksioner
masyarakat Indonesia dan paham itu sudah tugas kita sebagai masyarakat yang
paham akan keadaan dan kita di tuntut harus belajar agar lebih peka dengan
keadaan karena keadaan saat ini lebih absurd ketimbang tahun yang sebelumnya.
Apabila kita bisa mengajak masyarakat di tataran akar rumput untuk memperbincangkan
perpolitikan sedari dini kemungkinan besar tidak akan terjadi polarisasi
terkait ideologi, cara pandangan, dan kepentingan karena sudah dapat memaklumi
dan memahami unsur-unsur yang memiliki kepentingan pada perpolitikan yang
sedang dihadapi.
*Sekertaris Bidang Hikmah IMM Komisariat FKIP UMS Periode 2018-2019